Mula-mulanya ketika kenangan ini satu persatu di guyar oleh gerimis, pucuk pohon basah menghablur kedetailan kronologinya. Ketika musim penghujan, kabut muncul di sana sini, tipis dan tebal, bergantian. Ada yang bisa ditembus, ada yang tak bisa ditembus. Tak seekor burung pun berkelebat. Agak jauh di selatan masih terdengar lalu lalang kendaraan, setelah itu sayup. Lalu di atas arah barat sana masih membentang separo tubuh gunung, separonya lagi berselimut kabut bulan februari. Dan, dari salah satu lembah menuju puncak, semilir seperti angin, lakon jawa ngapak terdengar seperti berbisik, kalau tak salah Tresno Sudro. “Awan binge ra biso lali, gansah eling esemmu, nganti kaoan aku ra ngerti, biso nyanding sliramu”. Aku hafal betul irama lagu itu, fasih kudengar dari seorang muda desa ketika kegiatan sosial tempo kuliah dulu. Ku hafal betul ”Ya, kenapa tak hafal. Hujan, teduh, ditambah cerita ngawur percintaan seorang pemuda desa memaksaku untuk menghafal filosofi lagunya“. Sepertinya, lagu ini cocok buatku.
“Itulah sebab mulanya”
Sebentar, tunggu. Sebelumnya Izinkan ingatan ini menjadi pihak ketiga teruntuk cerita mereka. Cerita tentang tak ada. Tentang kenangan waktu silam, tentang manisnya kenangan mula mula, tentang kecutnya pertanyaan “bagaiaman pada akhirnya”. Jujur, aku ingin sekali menjadi pihak pertama dalam cerita ini. Pelaku cerita. Tapi sepertinya lebih baik aku main aman saja. Mari kuceritakan tentang seorang bernama Puntadewa.
…
Kota pensiun. Lampu jalanan sudah menyala. Ramah menyambut geremis yang turun tiba-tiba. Mata Puntadewa menatap lekat lampu yang terdekat. Sinarnya merah berpendar oleh tirai hujan. Sebenarnya ia takut bernostalgia jika malam tiba, tapi berkat pemandangan itu ia mendongak juga mencari bulan. Tidak ada. Entah awan, pohon, atau terang kota yang menghalanginya. Ntah mengapa di musim penghujan, penampakan bulan sulit menganga menunjukkan diri.
Seberang real-estate mewah, agak ke utara kota, di ceruk sunyi balai taman, Puntadewa termangu menunggu sepi hiruk pikuk pengunjung taman. Sepi, hingga butir gerimis berbedah ke tanah. Cukup lama. Namun tak ada isyarat tanda taman akan segera sepi. Malah, beberapa orang baru saja berdatangan. Puntadewa tetap menunggu, sambil lalu mengelih menghabiskan detik. Ada yang mengobrol berdua atau bertiga. Ada yang kelihatan bicara sendiri dengan telepon genggamnya. Tapi lebih banyak yang seperti Puntadewa. Diam sendirian.
Kembali Puntadewa menatap lampu balai taman itu. Tiangnya kurus dan menjulang. Dari sekian banyak lampu. Puntadewa menilik lampu yang rada redup. Ia seperti kawan tak bernyawa buat Puntadewa. Nyala benderang kalau diperlukan. Tapi hanya di sini, di ceruk sepi taman, Puntadewa memikirkan lakon seorang perempuan bersuara rendah. ketika dari arah pintu masuk muncul pengunjung baru. Ketika orang-orang menengok dan beranjak. Ada yang kembali duduk, ada yang terus berdiri. Puntadewa kembali mengingatnya. Berulang ulang.
Di atas meja di kamar kontrakannya Puntadewa menaruh gambar. Fokus gambar sebenarnya bukan padanya, tapi pada perempuan itu. Tubuhnya yang sedikit gempal menghamblurkan dua pepetan gunung kembar nan megah. Dia tersenyum, tapi kamera yang dulu disetel otomatis itu tidak jelas menangkap keindahan bukitnya. Dari arah timur sinar terlalu membanjir menutup potret wajah perempuan itu.
Puntadewa ingat, setelah berfoto, untuk menikmati matahari pun, tak sempat dia lakukan. Sekedar sepuluh menit bersama perempuan itu, bagi Puntadewa sepuluh tahun. Hingga matahari pun pelan-pelan naik meninggalkan garis cakrawala. Langit di sekitarnya begot bersih dan laju waktu terlalu pelan untuk dihitung. Sore mulai datang. Lembah menanti sebelum malam. Dan kala itu mereka bergegas pulang. Gambar itu menceritakan semunya.
Suara deru kendaraan berlalu menembus malam. Balai taman itu kembali lengang. Hanya beberapa orang yang masih menunggu. Semuanya diam. Selain bunyi gerimis, segala macam suara jalanan di luar taman itu terus terdengar. Itu tandanya malam belum dipenghujung. Puntadewa masih menunggu.
Mata Puntadewa kembali mencari bulan. Tapi diurungkannya. Lampu balai taman yang seakan tidak pernah menyala terang itu kembali ditatapnya. Puntadewa teringat pada sebuah pesan pendek yang masuk ke telepon genggamnya. Sudah cukup lama, beberapa pesan lupa untuk dibalasnya. Padahal untuk saat ini Puntadewa begitu menantikannya.
Di seberang taman terdapat juga sebuah taman kecil di dalam real esatate. Terbelah oleh jalan dengan kendaraan hilir mudik. Menjadi samar oleh kendaraan-kendaraan yang lewat, dan agak sulit melihatnya dari kejauhan kareena di katup oleh deratan cemara tinggi. Membuat taman itu tak tampak. Puntadewa merasa tempat itu baru dilihatnya. Mungkin karena lampu neon yang dipasang di sebelah jalan rumah sehingga tempat itu kini lebih terang. Berbeda dengan balai taman lainnya, hanya diterangi lampu jalanan dan sorot lampu rumah mewah. Ia seakan baru menyadarinya.
Balai taman kecil itu. Beberapa pasangan tampak mengobrol di taman seberang. Sesekali mereka tertawa berderai-derai. Puntadewa melihat mereka seperti menonton film bisu. Suara gerimis dan segala macam bunyi jalanan adalah musik pengiringnya. Salah satu di antaranya kemuPuntadewa berdiri agak menjauh. Ia mengangkat tangannya, tampak hendak mengambil gambar dengan kamera telepon genggamnya. Resam wajahnya menimbang-nimbang ringan dan mulutnya memberi aba-aba. Pasangan berkumpul saling merapat dan memasang senyuman.
Puntadewa ikut tersenyum.
Pemandangan yang terhalang-halangi kendaraan lewat itu kemuPuntadewa hilang oleh badan mobil yang merapat. Sebentar Puntadewa bertanya di dalam hati, apakah mereka sedang menunggu kedatangan jemputan yang akan membawa mereka pulang. Penasaran Puntadewa melihat jam tangan. Malam belum dipenghujung. Puntadewa masih menunggu.
Mobil itu bergerak kembali melanjutkan jalannya. Seperti tirai yang bergeser pelan setelah sebentar menyembunyikan panggung tontonan pada sebuah pagelaran teater. Gerimis masih turun. Tak ada tanda turun hujan. Kemeja yang ia pakai seakan seperti mesin cuci. Basah olen gerimis, lalu kering di hempas angin.
Kendaraan-kendaraan terus lewat di depan Puntadewa, di antara kedua taman di pinggir jalan itu. Ada yang melaju pelan-pelan, ada pula yang melesat tergesa-gesa. Lampu-lampu jalanan tetap menyala dengan sinar kuningnya yang berpendar oleh gerimis. Sementara bangku-bangku di balai taman seberang jalan itu kini telah kosong. Dia melihat langit, awan semakin hitam. Hujan segera datang. Malam nyaris berpisah dengan bulan.
Orang-orang di sekitar Puntadewa beranjak dari duduknya. Berhambur seketika, ketika geledek sesekali bergelegar. Puntadewa tak sempat melindungi tubuhnya agar tak makin basah. Untuk beranjak dan melangkah pasti menuju pintu keluar taman, menyalakan mesin motor pelan-pelan. Dibiarkan kepalanya menerima hujan. Puntadewa terhenyak di antara sunyi yang mengepung.
Sambil menbawa kendaraan, Puntadewa merasa untuk kesekian kalinya begini dan kalah. Sekujur perasaan dirundung kuyup musim hujan. Ini senja ketujuh di tahun ini Puntadewa kembali teronggok di kamar bau kamar tak terurus. Untuk esok siang, kenangan terus mengangkutnya dari rindu melulu.
Diatas kendaraan yang ia bawa, kepalnya merasakan hujan. Bulir-bulir yang diam dihampiri bulir-bulir yang bergerak. Ada yang cepat-cepat, ada yang pelan-pelan seperti ragu-ragu atau penuh perhitungan. Bulir-bulir yang bersatu kemuPuntadewa turun lebih cepat di permukaan wajahnya. Meninggalkan gurat-gurat basah sebagai jejaknya.
Puntadewa kembali mendongak mencari bulan, yang kini dihiasi bulir-bulir air itu. Meski ia tahu tidak akan menemukannya. Kepalanya dipenuhi oleh dua orang yang berpayung itu, yang tadi, sebentar saja, masih dilihatnya dari atas kendaraan. Mereka ada di antara orang-orang yang tersenyum di dalam foto di atas meja di kamar kontrakannya itu.
Dikeluarkannya telepon genggam dari tas selempangnya. Puntadewa membuka pesan pendek yang sudah lama masuk itu. Dibacanya sebentar, kemuPuntadewa dihapusnya. Lelaki yang tadi memegang payung itu tidak perlu menerima balasan pesannya.
Puntadewa berpikir berjalan tertatih adalah baik, selalu saja dipikirnya seperti itu. Aah sudahlah. mengindahkan kekesalan cuma mendayu . Ibarat tali tambang yang menjerat erat kedua kaki agar tidak pindah. Dan tak berdaya walaupun sebenarnya sudah merasa teramat sangat jengah. Tapi Puntadewa tersenyum seulas, berniat memulai besok siang dengan hangatnya pagi.
“Itulah sebab mulanya”
Sebentar, tunggu. Sebelumnya Izinkan ingatan ini menjadi pihak ketiga teruntuk cerita mereka. Cerita tentang tak ada. Tentang kenangan waktu silam, tentang manisnya kenangan mula mula, tentang kecutnya pertanyaan “bagaiaman pada akhirnya”. Jujur, aku ingin sekali menjadi pihak pertama dalam cerita ini. Pelaku cerita. Tapi sepertinya lebih baik aku main aman saja. Mari kuceritakan tentang seorang bernama Puntadewa.
…
Kota pensiun. Lampu jalanan sudah menyala. Ramah menyambut geremis yang turun tiba-tiba. Mata Puntadewa menatap lekat lampu yang terdekat. Sinarnya merah berpendar oleh tirai hujan. Sebenarnya ia takut bernostalgia jika malam tiba, tapi berkat pemandangan itu ia mendongak juga mencari bulan. Tidak ada. Entah awan, pohon, atau terang kota yang menghalanginya. Ntah mengapa di musim penghujan, penampakan bulan sulit menganga menunjukkan diri.
Seberang real-estate mewah, agak ke utara kota, di ceruk sunyi balai taman, Puntadewa termangu menunggu sepi hiruk pikuk pengunjung taman. Sepi, hingga butir gerimis berbedah ke tanah. Cukup lama. Namun tak ada isyarat tanda taman akan segera sepi. Malah, beberapa orang baru saja berdatangan. Puntadewa tetap menunggu, sambil lalu mengelih menghabiskan detik. Ada yang mengobrol berdua atau bertiga. Ada yang kelihatan bicara sendiri dengan telepon genggamnya. Tapi lebih banyak yang seperti Puntadewa. Diam sendirian.
Kembali Puntadewa menatap lampu balai taman itu. Tiangnya kurus dan menjulang. Dari sekian banyak lampu. Puntadewa menilik lampu yang rada redup. Ia seperti kawan tak bernyawa buat Puntadewa. Nyala benderang kalau diperlukan. Tapi hanya di sini, di ceruk sepi taman, Puntadewa memikirkan lakon seorang perempuan bersuara rendah. ketika dari arah pintu masuk muncul pengunjung baru. Ketika orang-orang menengok dan beranjak. Ada yang kembali duduk, ada yang terus berdiri. Puntadewa kembali mengingatnya. Berulang ulang.
Di atas meja di kamar kontrakannya Puntadewa menaruh gambar. Fokus gambar sebenarnya bukan padanya, tapi pada perempuan itu. Tubuhnya yang sedikit gempal menghamblurkan dua pepetan gunung kembar nan megah. Dia tersenyum, tapi kamera yang dulu disetel otomatis itu tidak jelas menangkap keindahan bukitnya. Dari arah timur sinar terlalu membanjir menutup potret wajah perempuan itu.
Puntadewa ingat, setelah berfoto, untuk menikmati matahari pun, tak sempat dia lakukan. Sekedar sepuluh menit bersama perempuan itu, bagi Puntadewa sepuluh tahun. Hingga matahari pun pelan-pelan naik meninggalkan garis cakrawala. Langit di sekitarnya begot bersih dan laju waktu terlalu pelan untuk dihitung. Sore mulai datang. Lembah menanti sebelum malam. Dan kala itu mereka bergegas pulang. Gambar itu menceritakan semunya.
Suara deru kendaraan berlalu menembus malam. Balai taman itu kembali lengang. Hanya beberapa orang yang masih menunggu. Semuanya diam. Selain bunyi gerimis, segala macam suara jalanan di luar taman itu terus terdengar. Itu tandanya malam belum dipenghujung. Puntadewa masih menunggu.
Mata Puntadewa kembali mencari bulan. Tapi diurungkannya. Lampu balai taman yang seakan tidak pernah menyala terang itu kembali ditatapnya. Puntadewa teringat pada sebuah pesan pendek yang masuk ke telepon genggamnya. Sudah cukup lama, beberapa pesan lupa untuk dibalasnya. Padahal untuk saat ini Puntadewa begitu menantikannya.
Di seberang taman terdapat juga sebuah taman kecil di dalam real esatate. Terbelah oleh jalan dengan kendaraan hilir mudik. Menjadi samar oleh kendaraan-kendaraan yang lewat, dan agak sulit melihatnya dari kejauhan kareena di katup oleh deratan cemara tinggi. Membuat taman itu tak tampak. Puntadewa merasa tempat itu baru dilihatnya. Mungkin karena lampu neon yang dipasang di sebelah jalan rumah sehingga tempat itu kini lebih terang. Berbeda dengan balai taman lainnya, hanya diterangi lampu jalanan dan sorot lampu rumah mewah. Ia seakan baru menyadarinya.
Balai taman kecil itu. Beberapa pasangan tampak mengobrol di taman seberang. Sesekali mereka tertawa berderai-derai. Puntadewa melihat mereka seperti menonton film bisu. Suara gerimis dan segala macam bunyi jalanan adalah musik pengiringnya. Salah satu di antaranya kemuPuntadewa berdiri agak menjauh. Ia mengangkat tangannya, tampak hendak mengambil gambar dengan kamera telepon genggamnya. Resam wajahnya menimbang-nimbang ringan dan mulutnya memberi aba-aba. Pasangan berkumpul saling merapat dan memasang senyuman.
Puntadewa ikut tersenyum.
Pemandangan yang terhalang-halangi kendaraan lewat itu kemuPuntadewa hilang oleh badan mobil yang merapat. Sebentar Puntadewa bertanya di dalam hati, apakah mereka sedang menunggu kedatangan jemputan yang akan membawa mereka pulang. Penasaran Puntadewa melihat jam tangan. Malam belum dipenghujung. Puntadewa masih menunggu.
Mobil itu bergerak kembali melanjutkan jalannya. Seperti tirai yang bergeser pelan setelah sebentar menyembunyikan panggung tontonan pada sebuah pagelaran teater. Gerimis masih turun. Tak ada tanda turun hujan. Kemeja yang ia pakai seakan seperti mesin cuci. Basah olen gerimis, lalu kering di hempas angin.
Kendaraan-kendaraan terus lewat di depan Puntadewa, di antara kedua taman di pinggir jalan itu. Ada yang melaju pelan-pelan, ada pula yang melesat tergesa-gesa. Lampu-lampu jalanan tetap menyala dengan sinar kuningnya yang berpendar oleh gerimis. Sementara bangku-bangku di balai taman seberang jalan itu kini telah kosong. Dia melihat langit, awan semakin hitam. Hujan segera datang. Malam nyaris berpisah dengan bulan.
Orang-orang di sekitar Puntadewa beranjak dari duduknya. Berhambur seketika, ketika geledek sesekali bergelegar. Puntadewa tak sempat melindungi tubuhnya agar tak makin basah. Untuk beranjak dan melangkah pasti menuju pintu keluar taman, menyalakan mesin motor pelan-pelan. Dibiarkan kepalanya menerima hujan. Puntadewa terhenyak di antara sunyi yang mengepung.
Sambil menbawa kendaraan, Puntadewa merasa untuk kesekian kalinya begini dan kalah. Sekujur perasaan dirundung kuyup musim hujan. Ini senja ketujuh di tahun ini Puntadewa kembali teronggok di kamar bau kamar tak terurus. Untuk esok siang, kenangan terus mengangkutnya dari rindu melulu.
Diatas kendaraan yang ia bawa, kepalnya merasakan hujan. Bulir-bulir yang diam dihampiri bulir-bulir yang bergerak. Ada yang cepat-cepat, ada yang pelan-pelan seperti ragu-ragu atau penuh perhitungan. Bulir-bulir yang bersatu kemuPuntadewa turun lebih cepat di permukaan wajahnya. Meninggalkan gurat-gurat basah sebagai jejaknya.
Puntadewa kembali mendongak mencari bulan, yang kini dihiasi bulir-bulir air itu. Meski ia tahu tidak akan menemukannya. Kepalanya dipenuhi oleh dua orang yang berpayung itu, yang tadi, sebentar saja, masih dilihatnya dari atas kendaraan. Mereka ada di antara orang-orang yang tersenyum di dalam foto di atas meja di kamar kontrakannya itu.
Dikeluarkannya telepon genggam dari tas selempangnya. Puntadewa membuka pesan pendek yang sudah lama masuk itu. Dibacanya sebentar, kemuPuntadewa dihapusnya. Lelaki yang tadi memegang payung itu tidak perlu menerima balasan pesannya.
Puntadewa berpikir berjalan tertatih adalah baik, selalu saja dipikirnya seperti itu. Aah sudahlah. mengindahkan kekesalan cuma mendayu . Ibarat tali tambang yang menjerat erat kedua kaki agar tidak pindah. Dan tak berdaya walaupun sebenarnya sudah merasa teramat sangat jengah. Tapi Puntadewa tersenyum seulas, berniat memulai besok siang dengan hangatnya pagi.