ANALISIS KASUS ALIRAN KEPERCAYAAN SAPTO DARMO DAN PARMALIM UNTUK PENERAPAN MODEL EKSTRA KOLOM “ALIRAN KEPERCAYAAN” DALAM KTP SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN AGAMA DI INDONESIA

0 Komentar



Mia Rachmawati, Fita Nofiana, Yoshua Abib Mula Sinurat
Jurusan Ilmu Politik dan Sosiologi Fakultas ISIP Universitas Jenderal Soedirman
Jalan H.R. Boenyamin  Grendeng Purwokerto

          RINGKASAN
   Selain tentang Sunda Wiwitan, Aboge, Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah aliran kepercayaan lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa. Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari salah satu aliran kepercayaan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP). Pengalaman ini pernah dialami aliran kepercayaan Sapto Darmo.
Banyak pertanyaan dari masyarakat seputar aliran kepercayaan dalam Kolom KTP (Kartu Tanda Penduduk).  Dalam bagian pertama ini akan dibahas kondisi saat ini tentang aliran Sapto Darmo, yang merupakan salah satu aliran besar kejawen.
          Polemik kolom agama dalam KTP belakangan ini sering menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Dalam kolom agamanya nyatanya hanya ada enam agama yang dapat dicantumkan. Kemudian, 245 penghayat tidak dapat menuliskan kepercayaan mereka dalam kolom aga di KTP. Padahal, tidak terisinya kolom agama akan berpengaruh terhadap pengurusan administrasi kenegaraan. Melalui permasalahan ini kemudian kami mengusulkan gagasan penambahan ekstra kolom dalam KTP, sebagai solusi untuk mengatasi permasalah tersebut.
          Pembahasan yang kami lakukan berdasarkan data dari wawancara dan obeservasi media massa. Metode yang kami gunakan untuk menganalisa kasus ini menggunakan tinjauan pustaka. Dalam undang-undang dicantumkan seluruh warga negara wajib menganut salah satu agama. Namun permasalahan muncul saat hanya agama yang boleh dicantumkan dalam kolom KTP. Padahal banyak penganut kepercayaan yang ingin dicantumkan dalam KTP. Akan lebih mudah jika pemerintah menambahkan kolom “Aliran Kepercayaan” dalam KTP. Hal itu di maksudkan agar para penganut aliran kepercayaan dapat mengakses pelayanan publik dan mengurus administrasi.
           



I.         PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang multietnis dengan kepercayaan yang berbeda-beda. Berdasarkan data dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), ada 245 organisasi aliran kepercayaan di negeri ini. Dan juga ICRP pada tahun 2005 menyebutkan, setidaknya ada 400.000 orang yang menjadi penganut aliran-aliran ini.
Banyaknya aliran kepercayaan justru menimbulkan masalah-masalah keagamaan. Beberapa kasus yang kami rilis dari media cetak dan elektronik. Banyak kasus menguak tentang perdebatan  antara negara dengan  penganut aliran kepercayaan. Pangkal masalahnya ada pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia.
Beberapa bulan lalu banyak media yang memberitakan konflik aliran kepercayaan terhadap Negara. Salah satu  berita terekam situs Indopos.com (12/12), yang menyatakan bahwa pencantuman agama di KTP hanya menyediakan 6 agama resmi saja.  Dampaknya penganut aliran kepercayaan menuntut agar kepercayaannya di cantumkan dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun pemerintah menganggap bahwa aliran kepercayaan bukan suatu agama yang diakui.
Ditambah lagi dengan keseselan para penganut aliran kepercayaan, yang terpaksa memakai salah satu dari  6 agama yang sudah di atur negara. Para penganut Aliran kepercayaan tentu saja tidak terdapat dalam pilihan agama tersebut. Karena tidak tercantumnya beberapa kepercayaan dalam kolom agama ini berpengaruh terhadap pelayanan administrasi seperti  akta nikah, akta kelahiran, bahkan pemakaman.
Sudah jelas pula bahwa ada ketegangan sosial antara para penganut aliran kepercayaan dengan negara, terkait UU Adminduk pasal 64  kedua belah pihak saling bertahan untuk mempertahankan kepercayaannya pada kolom KTP.  Pada UU Adminduk Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, tertulis setiap warga negara harus memilih satu di antara lima agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya.
Setidaknya beberapa agama 'asli' leluhur Nusantara yang penganutnya masih eksis dimana-mana. Seperti Sapto Darmo di Jawa Tengah, Parmalim di Sumatera Utara dan Aliran kepercayaan lain seperti Sunda Wiwitan di Jawa, Alu Tadalo di Toraja, Tolotang di Sulawesi Selatan, Marpu-Jinitiu dan Boti di NTT dan masih banyak lagi. Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini. Dampaknya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.
Berangkat dari hal ini penulis menangkap bahwa Negara dan rakyatnya masih menganggap aliran kepercayaan atau agama-agama leluhur Nusantara merupakan bagian dari agama yang sudah dilegitimasi negara. Namun para penganut memkanai secara berbeda. Dalam hal ini penulis mencoba menganalisis kasus aliran kepercayaan Sapto Darmo dan Parmalim guna mendapatkan ujung masalah, yang kemudian penulis mampu menggagas solusi atas permasalahan agama di Indonesia. Alasan kami dikarenakan aliran Sapto Darmo dan Parmalim merupakan aliran kepercayaan yang masih jarang tersentuh media. Kemudian kedua aliran ini merupakan kebudayaan leluhur penulis.

II.           GAGASAN
1.             Kondisi saat ini Sapto Darmo dan Parmalim
Bedasarkan hasil wawancara kami dengan salah satu Kepala Desa di Desa Jambean Kidul, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah. Sapto Darmo merupakan salah satu aliran besar kejawen. Pertama kali dicetuskan oleh Hardjosaputro dan selanjutnya dia ajarkan hingga meninggalnya, 16 Desember 1964. Nama Sapto Darmo diambil dari bahasa jawa. Sapto artinya tujuh dan Darmo artinya kewajiban suci. Jadi sapto darmo artinya tujuh kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak berkembang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, bahkan sampai luar Jawa. Aliran ini mempunyai pasukan dakwah yang dinamakan Corps Penyebar Sapto Darmo, yang dalam dakwahnya sering dipimpin oleh ketuanya sendiri (Sri Pawenang) yang bergalar Juru Bicara Tuntunan Agung.
Namun hingga saat ini ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang agama yang diakui hanya 6. Maka Sapto Darmo berubah menjadi Ormas, dalam pandangan negara, tetapi mereka menyebutnya aliran kepercayaan. Beberapa pernyataan yang kami rilis dari berbagai sumber media menyebutkan bahwa para penganut Sapto Darmo masih tidak sepakat ketika aliran kepercayaannya ini menjadi Ormas. Bahkan, dipaksa untuk memilih agama dalam kolom KTP. Biasanya para penganut aliran kepercayaan Sapto Darmo di anjurkan untuk  



memilih agama Islam atau tanda Strip dalam Kolom KTP Indonesia.
Seperti gambar yang kami scan dibawah ini :


Description: IMG.jpg

Gambar 1 : Contoh penganut aliran Sapto Darmo yang menggunakan tanda strip pada kolom agama KTP
Gambar 2 : Contoh penganut aliran Sapto Darmo yang menggunakan Agama Islam pada kolom agama KTP
Kedua contoh KTP diatas adalah contoh penganut Sapto Darmo yang terpaksa memakai tanda strip di kolom agamnya (gambar 1) dan dalam gambar kedua, penganut Sapto Darmo harus mencantumkan agama resmi pemerintah ke dalam KTP nya.
Sama halnya denga Aliran Kepercayaan Parmalim atau (Ugamo Malim). Aliran kepercayan ini memang tidak tercatat sebagai agama di Indonesia dan hanya diakui sebagai aliran kepercayaan di bawah naungan Departemen Agama Indonesia. Hingga kini, kepercayaan yang dianut Sisingamaraja ini tetap terjaga di Tanah Batak, tepatnya di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Bahkan, penganutnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia dan mencapai lebih dari 1.500 orang.
Seperti hasil Obeservasi kami yang kemudian kami rilis dari media elketronik. http://bataknews.wordpress.com/2007/03/26/parmalim/. Warga Parmalim di seluruh Indonesia umumnya kesulitan mendapatkan KTP dan akte perkawinan. Naipospos adalah gelar pimpinan aliran kepercaayaan mencontohkan seorang pria pengikut Parmalim di Propinsi Papua yang bekerja di PT Freeport.
Kala itu dia menikah secara Parmalim di Laguboti dan diberi surat bukti perkawinan oleh pengurus Parmalim. Tapi surat perkawinan ini tidak diakui pihak Kantor Catatan Sipil (Capil) di sana, sehingga akte perkawinan pun tidak terbit. Capil lalu meminta yang bersangkutan mengurus surat dari pengadilan negeri (PN) bahwa perkawinan mereka sah. Surat dari PN ternyata diberikan, tapi tetap juga Capil tidak membuat akte tersebut. Dan juga kami menambakan bahwa aliran kepercayaan parmalim biasanya memlih agama protestan dan ada beberpa yang mengosongkannya dalam kolom agama di KTP.
Dua aliran kepercayaan diatas yang berhasil kami tangkap dari hasil wawancara dan obeservasi menjelaskan bahwa perjuangan demi kebhinekaan tampaknya sudah menjadi pokok yang seharusnya diselesaiakan negara. Dari banyaknya kasus aliran kepercayaan yang sudah terkikis. Menurut kami inipun berimplikasi kepada praktik diskriminasi.
Dimana di Indonesia sendiri masih ada agama-agama 'asli' leluhur Nusantara yang penganutnya masih eksis dimana-mana. Sapto Darmo, Parmalim dan Aliran kepercayaan lain seperti Sunda Wiwitan di Jawa, Alu Tadalo di Toraja, Tolotang di Sulawesi Selatan, Marpu-Jinitiu dan Boti di NTT dan masih banyak lagi. Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini. Dampaknya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.
2.             Solusi Pemerintah Sebelumnya
Sebenaranya DPR sudah pernah menawarkan solusi pada permasalahan Aliran kepercayaan yang sulit menemui titik temu. Pihak pemerintah pernah menawarkan solusi dengan mencantumkan agama resmi dalam kolom KTP para penganut kepercayaan.Menurut anggota komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P), Arif Wibowo, menyatakan dalam Indopos.com (12/12), bahwa pencantuman agama dalam KTP hanya menyediakan agama resmi. Sedangkan keyakinan di luar agama resmi tidak diakomodasi atau tidak ada tempatnya. Sehingga pilihan lainya adala mengosongkan kolom agama, mencantumkan tanda strip, menulis kata ‘lain-lain’ atau terpaksa memilih mencantumkan agama resmi negara dalam kolom agama KTP.
Description: C:\Users\Yoyo Sinurat\Downloads\578263_2835332492993_100351977_n.jpg
Namun banyak para penganut kepercayaan menolak usulan tersebut, hal itu dianggap sebagai bentuk terhadap kepercayaan yang dianut. Para penganut kepercayaan meyakini bahwa permasalahan yang muncul saat ini bukanlah agama apa yang dicantumkan dalam kolom KTP. Namun lebih dari itu, warga negara berhak memilih agama manapun yang diyakininya. Apa yang dialami oleh penganut Sapto Darmo dan Parmalim, dan juga yang dialami oleh banyak penganut kepercayaan lainnya. Yang pada akhirnya terjadi deskriminasi antara warga negara penganut kepercayaan. 
Kami menganalisa bahwa permasalahan Aliran keperyaan ini berakar pada UU Adminduk. Dimana dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) hanya enam agama yang boleh dicantumkan yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. UU Adminduk yang saat ini masih berpotensi mengikis kebhinekaan seperti yang tercantum dalam pancasila sendiri. Contoh yang paling ironis yang dilakukan negara adalah dalam amandemen UU Adminduk No 23 Tahun 2006 yang kini menjadi UU No 24 Tahun 2014.
3.             Seberapa jauh kondisi kekinian gagasan dapat diperbaiki melalui gagasan yang diajukan
Berkaitan dengan pengesahan Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dalam UU ini yang cukup krusial adalah diperboehkanya mengosongkan kolom agama dalam KTP. Keputusan ini masih menimbulkan sejumlah perlawanan dari berbagau penghayat suatu kepercayaan, sehingga dalam gagasan tertulis ini kami memgusulkan, adanya penambahkan satu kolom dibawah kolom agama berupa kolom kepercayaan atau aliran. Menurut kami, penambahan kolom aliran atau kepercayaan ini dapat menjadi solusi baru ketika pemerintah masih membedakan antara agama resmi dan agama tidak resmi, atau masih menganggap kepercayaan atau aliran-aliran lokal bukanlah suatu agama melainkan sebagai kepercayaan atau peninggalan leluhur.
Sebelumnya, beberapa pihak telah mengusulkan untuk dihapuskanya kolom agama. Namun, usulan ini malah menimbulkan berbagai komentar negatif dari berbagai ormas dan lembaga pemerintahan. Pemerintah menolak usulan tersebut karena beralasan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler jadi, kolom agama masih dianggap penting. Dengan begitu kami menguslkan agar pemerintah menambahkan kolom kepercayaan atau aliran di bawah kolom agama di KTP, dengan pertimbangan seperti pernyataan litbang MUI bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler. Penambahan kolom ini juga berkaitan dengan semboyan bangsa “bhineka tunggal ika” yang menyatakan penghargaan atas perbedaan.
Penambahan kolom aliran dalam KTP tentu saja membutuhkan legitimasi dari negara, karena ini kami juga mengusulkan perubahan undang-undang nomor 23 tahun 2006. Perubahan tersebut berisikan tentang penambahan satu kolom yaitu kolom aliran dalam KTP. Usulan kami mengenai penambahan kolom seperti gambar yang berada di bawah ini:


Description: D:\A.png
Add caption

Gambar 3 : Model Ekstra kolom “Aliran Kepercayaan” pada kolom agama di KTP

4.             Pihak-pihak yang dipertimbangkan dapat membantu membantu mengimplementasikan gagasan dan uraian peran masing-masing.
Pihak-pihak yang dapat dipertimbangkan untuk membantu terwujudnya gagasan kami antara lain:
-          Lembaga swadaya masyarakat, untuk membantu kami dalam pelaksanaan dan pengaujuan gagasan kepada departemen kependudukan dan menteri agama
-          Lembaga bantuan hukum, untuk membantu legalisasi gagasan melalui bantuan hukum.
-          DPR-RI, lembaga terakhir yang dapat mengesahkan kebijakan yang kami usulkan.
-          Dinas Kependudukan, yang berwenang untuk mengakomodasi pembuatan KTP.








 












Gambar 4 : Langkah strategis agar tujuan tercapai melalui gagasan yang diajukan



III.        KESIMPULAN
Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi kebutuhan yang cukup penting bagi warga negara manapun, baik untuk pelayanan publik atau sekadar untuk administrasi kependudukan. Namun, beberapa waktu ini kolom agama di KTP malah menimbulkan polemik baru. Hal ini disebabkan hanya agama resmi yang dapat mengisi kolom agamanya, sementara bagi para penghayat hanya bisa mengosongkan atau mengisi dengan agama resmi pemerintah.
Keberadaan kolom agama tersebut kemudian memunculkan beberbagai anggapan mulai dari anggapan diskriminasi pemerintah, hingga kritik terhadap ketidakjelasan pemerintah atas tafsirnya terhadap agama. Jadi, adanya kolom agama sempat diusulkan agar dihapus dalam KTP. Namun, melalui pernyataan Litbang MUI yang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler, menolak untuk dihapusnya kolom agama. Sedangkan, masyarakat penghayat menginginkan sebuah pengakuan.
Oleh karena itu, kami mengusulkan penambahan kolom ekstra berupa kolom kepercayaan dalam KTP, kami prediksikan dapat membantu masyarakat penghayat untuk lebih memudahkan dalam bidang administrasi. Lebih dari itu, perubahan KTP dengan model seperti ini dapat menjadi solusi baru dalam menangani diskriminasi antara kepercayaan dan agama resmi negara.



DAFTAR PUSTAKA

Balandier, Georges. 1967. Political Anthropology. Paris: Presses Universitaises de
France.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka utama.
Budiono, Kusumohamidjojo. 2009. Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi
Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.