Disepertiga malam ini semuanya telah
berakhir. Ntah kapan aku mengingat mulanya. Sampai-sampai aku sudi melawan
dingin subuh dibulan November. Seperti berniat melompat dari jurang, lama di
udara kemudian secepat kilat mati ketika mendarat. Pagi ini aku mengulangnya.
Tuhan terlalu mencintaiku, Dia membutakan mataku, hingga sepanjang
aku masih mengingatnya, aku masih terpasung dalam kenang tempo silam. Mungkin
karena Tuhan sangat menyayangi ku, Dia
tidak menginginkan telingaku mendengar suara-suara—yang kelak hanya akan
membuat salah seorang perempuan terluka. Mungkin karena Tuhan berkehendak menitipkannya
kepadaku, merawat masa-masanya dengan sebuah jalinan.
Subuh ini, percakapan yang menjemukan. Padahal, waktu ku tidak
banyak. Dan ia sedang tidak ingin di kunjungi.
Telepon genggam kukeluarkan
dalam saku. Dan untuk ke sekian kali, aku mengirimnya pesan.
“Cape?” !”
Suara dengan timbre kasar menghardik. Membuatku seperti
terjengkang, membaca balasannya.
Sekelebat harapan. Aku meraih telepon, dan tak
sabar mengirim pesan pendek lagi. Tak
bisa menunggu. Tidak seperti lampu merkuri yang sabar menerangi malam. Lalu aku
segera menghampiriya saja.
Bahkan ketika malam berkhianat dengan bulan.
Butuh sekitar 3 menit bagi bagiku untuk mencapai kamarnya. Lalu berhenti tepat
di sebelah kaca jendela.
“Bangun…,bangun…,” bisikku dengan kaca jendela kamarnya,
berharap mendengarku lalu keluar.
“bisa keluar sebentar…,? Diluar dingin..,?” Bisikku
lanjut, sembari jemari ini bertubi-tubi menngirimnya pesan.
“Se… sebelum jam enam!”
Meski tergeragap,kucobaberusaha meyakinkan agar ia keluar.
Tak ada jawaban, padahal baru saja telah kukirim pesan
dan masih ada tanggapan darinya.
Napasku yang halus mulai memburu. Tak ada
sahutan, pergi adalah jalan untuk mengakhirinya. Ya, aku sering melakukan hal
seperti ini. Sangat sering, sampai aku lupa berapa kali. Walau sudah berpisah,
latahku masih saja menghampiri. Dan pagi ini aku mengulangnya lagi.
Semuanya telah berakhir di subuh bulan November.
Ntah kebetulan atau Tuhan menakdirkannya seperti ini. Penghujung akhir tahun,
November selalu persis tiap tahunnya. Aku masih ingat, tiga tahun silam, sudah tujuh kali
aku mengumbar kekagumanku kepadanya. Selama itu pula aku belajar tentang
kesabaran.
Jika
aku berhak meibratkan dengan sebuah bayangan. Kala itu aku berambisi mendahului
bayangku sendiri. Angka tiga bagi orang sudah cukup, bagiku mengungkapya butuh tujuh
kali. Ya, kekaguman harus sesering
mungkin di ungkapkan. Berbeda, namun sama. Kali ini aku sedang mengumbar maafku
lewat kaca jendela kamarnya.
Ibu bilang, rezeki, jodoh, dan ajal, sudah tercatat dalam catatan
Tuhan. Tapi, aku selalu gagal memecahkan teka-teki Tuhan dalam garis
peruntungan ibu. Jodoh?
Kini ia selalu mempersetankan berepa kali aku
mencoba. Setahun terakhir ini, jalan
pikiran kami terbagi dua. Tak kunjung menemukan titik temu akhirnya perpisahan
jalan terbaik. Andai dia mengingat
angka tiga tempo itu, maka tak seperti ini akhirnya.
Butuh waktu lama akhirnya kami terikta
dengan ikatan. Menjalinnya sama seperti meramal. Apa yang akan terjadi besok? Rasanya seperti
merenungi anak sungai yang bermula pada bersit mata air, menyalurkan rembesan
air dari celah bukit, menyusup di celah-celah bebatuan, dan membelah hutan.
Menuruni lereng, terjun ke jurang, lalu hilang. Tiba-tiba sudah bermuara di
laut yang jauh.
Tak
terjangkau oleh perhitungan angka, juga waktu. Tak tergambarkan, tak tertangkap
oleh insting-insting peradaban yang menghidupkan nalar. Begitulah aku meramal
akhir di subuh bulan November.