Lalu Lalang, Lalu berakhir

0 Komentar
Disepertiga malam ini semuanya telah berakhir. Ntah kapan aku mengingat mulanya. Sampai-sampai aku sudi melawan dingin subuh dibulan November. Seperti berniat melompat dari jurang, lama di udara kemudian secepat kilat mati ketika mendarat. Pagi ini aku mengulangnya.

Tuhan terlalu mencintaiku, Dia membutakan mataku, hingga sepanjang aku masih mengingatnya, aku masih terpasung dalam kenang tempo silam. Mungkin karena Tuhan sangat menyayangi ku,  Dia tidak menginginkan telingaku mendengar suara-suara—yang kelak hanya akan membuat salah seorang perempuan terluka. Mungkin karena Tuhan berkehendak menitipkannya kepadaku, merawat masa-masanya dengan sebuah jalinan.  

Subuh ini, percakapan yang menjemukan. Padahal, waktu ku tidak banyak. Dan ia sedang tidak ingin di kunjungi.

Telepon genggam kukeluarkan dalam saku. Dan untuk ke sekian kali, aku mengirimnya pesan.  

“Cape?” !”

Suara dengan timbre kasar menghardik. Membuatku seperti terjengkang, membaca balasannya.

Sekelebat harapan. Aku meraih telepon, dan tak sabar mengirim pesan pendek  lagi. Tak bisa menunggu. Tidak seperti lampu merkuri yang sabar menerangi malam. Lalu aku segera menghampiriya saja.

Bahkan ketika malam berkhianat dengan bulan. Butuh sekitar 3 menit bagi bagiku untuk mencapai kamarnya. Lalu berhenti tepat di sebelah kaca jendela.

“Bangun…,bangun…,” bisikku dengan kaca jendela kamarnya, berharap  mendengarku lalu keluar.

“bisa keluar sebentar…,? Diluar dingin..,?” Bisikku lanjut, sembari jemari ini bertubi-tubi menngirimnya pesan.

 “Se… sebelum jam enam!” Meski tergeragap,kucobaberusaha meyakinkan agar ia keluar. 

Tak ada jawaban, padahal baru saja telah kukirim pesan dan masih ada tanggapan darinya.

Napasku yang halus mulai memburu. Tak ada sahutan, pergi adalah jalan untuk mengakhirinya. Ya, aku sering melakukan hal seperti ini. Sangat sering, sampai aku lupa berapa kali. Walau sudah berpisah, latahku masih saja menghampiri. Dan pagi ini aku mengulangnya lagi.

Semuanya telah berakhir di subuh bulan November. Ntah kebetulan atau Tuhan menakdirkannya seperti ini. Penghujung akhir tahun, November selalu persis tiap tahunnya. Aku masih ingat, tiga tahun silam, sudah tujuh kali aku mengumbar kekagumanku kepadanya. Selama itu pula aku belajar tentang kesabaran.

Jika aku berhak meibratkan dengan sebuah bayangan. Kala itu aku berambisi mendahului bayangku sendiri. Angka tiga bagi orang sudah cukup, bagiku mengungkapya butuh tujuh kali.  Ya, kekaguman harus sesering mungkin di ungkapkan. Berbeda, namun sama. Kali ini aku sedang mengumbar maafku lewat kaca jendela kamarnya.

Ibu bilang, rezeki, jodoh, dan ajal, sudah tercatat dalam catatan Tuhan. Tapi, aku selalu gagal memecahkan teka-teki Tuhan dalam garis peruntungan ibu. Jodoh?  

Kini ia selalu mempersetankan berepa kali aku mencoba. Setahun terakhir ini, jalan pikiran kami terbagi dua. Tak kunjung menemukan titik temu akhirnya perpisahan jalan terbaik. Andai dia mengingat angka tiga tempo itu, maka tak seperti ini akhirnya.

Butuh waktu lama akhirnya kami terikta dengan ikatan. Menjalinnya sama seperti meramal. Apa yang akan terjadi besok? Rasanya seperti merenungi anak sungai yang bermula pada bersit mata air, menyalurkan rembesan air dari celah bukit, menyusup di celah-celah bebatuan, dan membelah hutan. Menuruni lereng, terjun ke jurang, lalu hilang. Tiba-tiba sudah bermuara di laut yang jauh.

Tak terjangkau oleh perhitungan angka, juga waktu. Tak tergambarkan, tak tertangkap oleh insting-insting peradaban yang menghidupkan nalar. Begitulah aku meramal akhir di subuh bulan November.