“Stop Violence against women”, “Stop Brutalitas Polisi” begitu kira-kira jargon para belia muda di pertemanan jejaring dunia maya saya. Jargon apik dengan sentuhan diksi renyah serta terpasang photo profil di sisi sebelah jargon nyatanya menambah suasana “kepengin ikut-ikutan”. Demikianlah sosial media, seiring waktu semakin tak karuan saja. Saya menyebutnya inilah persoalan bagi gerakan kebudayaan pascakolonial. Embel-embel meng-kampanye-kan dukungan terhadap ketidakadilan nyatanya kemudian tersudut kabur dengan sejumlah pertanyaan yang saya lontarkan : siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran yang katanya mahluk tuhan yang paling intelektual dalam perubahan sosial? Langkah praxis apa yang sudah kita lakukan ? Sekian pertanyaan tersebut kemudian dijawab dengan bertele-tele., sebagian pula mengaku hanya ikut-ikutan dengan alasan “perintah dari atasan” “Saudara tetap saudara harus dibela jika terintimidasi” , bahkan ada yang tak menjawab namun memberi 1000 wejangan teduh menyumpal telinga.
Berangkat dari hal itu kemudian melatarbelakangi tulisan ini ada. Berangkat dari ketidak-sadaran kita terhadap siapa lawan dan siapa kawan yang harus di berdayakan. Untuk kedepan yang lebih cerdas.
Demi terwujudnya kecerdasan kita bersama , hal pertama yang saya rekomendasikan adalah Gayatri. Siapa Gayatri ? Gayatri dikenal sebagai ahli teori-teori post kolonial. Lebih khusus sebagai ahli kajian subaltern (subaltern studies), setelah esai panjangnya "Can Subaltern Speak" pada tahun 1983 terbit dan menjadi karya monumental, bahkan diperingati 20 tahun penerbitannya oleh para filsuf dunia di Cork, Irlandia.Di tahun 1985, wanita dengan nama lengkap Gayatri Chakravorty Spivak, mempublikasikan essainya “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Pengrobanan Janda). Latar belakang essainya bermula ketika Gayatri sempat melakukan studinya tentang pengrorbanan diri janda di India dalam diksi India disebut sati, tulisan itulah yang di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial. Essainya berbicara tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial. Gayatri mempertanyakan kembali peran intelektual pascakolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas, suara kaum subaltern.
GAYATRI : CAN SUBLATERN SPEAK ?
Gagasan subaltern sebenarnya bermula dari seorang teoritis bernama Antonio Gramsci yang kemudian menyebut Sublatern tersebut adalah “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, perempuan yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan politik, budaya dan sebagainya, atau kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” Inilah yang disebut Gramsci sebagai kelompok atau individu yang ter-subaltern. Dalam catatannya tentang sejarah Italia yang terbit 1934 (“Notes on Italian History”), namun Gayatri menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang sejarah kelas-kelas subaltern. Lebih lanjut Gayatri mengatakan bahwa sejarah kelas-kelas subaltern juga tak kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan. Gayatri menggkritisi bahwa tulisan Gramsci yang berjudul “Notes on Italian History” lebih diakui sebagai “sejarah yang resmi”, karena kelas-kelas subaltern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. Hanya kepada sebuah “kemenangan permanen” (yaitu revolusi kelas) yang bisa memotong pola subordinasi tersebut.
DARI NOTES ON ITALIAN HISTORY,
SAMPAI ON SOME ASPECTS OF THE HISTORIOGRAPHY OF COLONIAL INDIA
Kemudian singkat cerita muncul sejarawan India bernama a Ranajit Guha. Guhan adalah sejarawan India yang tergabung dalam Subaltern Studies Group. Guhan kemudian mengadopsi gagasan Gramsci itu untuk mendorong penulisan kembali sejarah India. Dalam “On Some Aspects of the Historiography of Colonial India” (1982), Guha mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan desa, yaitu rakyat. Secara ringkas, yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan elit”. Dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).
Adopsi Guha atas subaltern-nya Gramsci ini menarik. Karena ia memberikan kerangka yang lebih jernih buat menganalisis soal “siapa kawan, siapa lawan” dan memaksa kita buat memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Guha juga membeerikan sedikit serpihan api untuk memanaskan ulang gagasan-gagasan kita dalam hal mengkampanyekan/mendukung subjek yang ter-sublatern-kan. Gagasan Guha ini pula setidaknya mampu untuk menggeser dikotomi-dikotomi kita tentang “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dan sebagainya, menjadi “elite-subaltern”. Agar kelak perhatian kita terhadap penindasan yang selama ini hanya terpusat pada “aktor-aktor luar”, kini mesti ditambah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial.
Bagi kita, saat ini, ilustrasinya bisa menjadi kita yakni perempuan bisa menindas perempuan yang ter-subordinat-kan lainnya, mahasiswa bisa menindas mahasiswa lainnya pula, gerakan yang mengaku pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang gerakan yang fasis lainnya, mereka yang mengaku pembela kelompok-kelompok marjinal bisa pula justru menjadi penindas kelompok-kelompok marjinal itu, dan seterusnya dan seterusnya.
Gayatri dalam tulisannya tentang sati yang telah disebut di atas, mempertegas gagasan Guha, sekaligus memberi peringatan kepada gerakan intelektual pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok subaltern. Gayatri hingga sampai pada kesimpulannya menyebutkan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka (mereka yang subaltern) untuk menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba”.
Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara dan karena mereka memang tidak bersuara. Oleh sebab itu kita, yang katanya intelektual semestinya datang bukan untuk mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Gayatri, kita (dibaca : intelektual) juga seharusnya menyertakan sikap yang “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keberdayaan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.
Beberapa persoalan bagi gerakan kita ketika pascakolonial kini, adalah: siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual sosial? Lalu langkah praxis apa yang sudah kita lakukan?
0 Komentar:
Posting Komentar