Klarifikasi Anarkisme

0 Komentar
Negara hadir untuk membatasi rakyat dengan otoritas hukumnya, tetapi kaum anarkis ada untuk membebaskan rakyat untuk menciptakan kedamaian.

“Pesan Sby Kepada Pimpinan Serikat Buruh, Demo Jangan Anarkis”, “Anarkisme Bukan Jiwa Pemuda Indonesia”,  Anarkis Bukan Produk Demokrasi, Tetapi Kelunturan Semangat Pancasila”, dsb. Kumpulan judul berita diatas sangat marak pada pemberitaan di media massa. Coba sesekali kita dengan kritis membaca koran, menonton berita televisi bahkan dalam tanyangan gosip infotaiment, begitu pula bila kita menonton film – film, biasanya produksi film barat. Kita seakan berada dalam sebuah dunia yang demikian brutal, dimana anarkisme atau anarkis menjadi sebuah kata yang bemakna kekerasan, kebrutalan, penghancuran atau tindakan protes dengan kemarahan yang merusak.

Coba kita lihat dengan kritis, berita–berita tentang aksi protes akan selalu dengan tayangan para pemerotes yang bergandengan tangan mendorong pagar atau barikade polisi dan bahkan polisi yang memukuli mereka dengan kayu, melontarkan gas air mata atau kadang tembakan peluru karet. Media massa atau apapun itu sering kali mengekspose tindakan anarkisme dengan tindakan kekerasan, bahkan keburukan–keburukan berpikir dan keburukan kebebasan tanpa tanggung jawab, yang dengan lucunya bahwa kebenaran filosofi anarki itu sendiri bertentangan dengan filosofi yang media tayangkan. Bisa dikatakan bahwa media saat ini masih lemah akan sikap jurnalistiknya.

Ditambah lagi multitafsir yang dikonsumsi pembaca ataupun penonton dalam  hal ini adalah masyrakat, telah memahami istilah anarkis kedalam konotasi negatif. Inilah yang kemudian melanggengkan anarkisme sebagai tindakan kekerasan. Akibat dari kesalahpahaman inilah pada akhirnya muncul anjuran untuk waspada terhadap segala bentuk tindakan anarkis, yang saat ini telah menjadi hampir kesepakatan dalam masyrakat. Singkat kata, bahwa masyrakat sudah memandang anarkisme sebagai sesuatau yang perlu di amputasi atau dilenyapkan untuk selamanya. Suatu kewajaran memang jika sebuah paham lama-kelamaan sudah merembes masuk ke dalam masyrakat dan terbelokkan artinya.

Lantas mengapa Anarkisme menjadi paham yang sangat ditakuti sehingga perlu dibrantas habis. Atau bisa jadi, karena kita tidak paham seutuhnya tentang anarkisme dan apa sebenarnya yang menjadi cita-citanya.

Tapi apakah anarkisme itu sebenarnya?

Anarkisme atau Anarki. Sebuah kata yang kerap kali didengar dan diucapkan, tetapi selalu dalam konotasi makna yang negatif. Berbagai tindakan kekerasan, kebrutalan fisik, kekacauan, selalu dikonotasikan sebagai tindakan Anarkis. Makna filosofis yang terdapat dalam kata Anarkisme sudah hilang sama sekali. Perlu kita tahu bahwa, anarkis adalah tindakan yang didasarkan ketidakpercayaan atas segala bentuk negara dan kekuasaannya, dalam hal ini kita sebut dengan Otoritas negara. Kaum anarkis mengamini bahwa kekuasaan negaralah yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap rakyat, maka negara harus dihilangkan dan dihancurkan.  Kebebasan tanpa otoritas yang memang tujuan akhir dari kaum anarkis nyatanya makin dipersulit saja.


Coba kita pahami kutipan tulisan Alexander Brekman ini,

“Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua.”

Kutipan tulisan diatas sudah seharusnya menyentil perspektif kita, bahwa anarkis bukan ketidakteraturan atau kekacauan. Memang seperti itulah makna anarkisme, dimana semua orang tidak berperang daan selalu bekerja sama sesuai dengan kemampuannya tanpa adanya otoritas yang mengatur-atur, apalagi memanfaatkan hasil kerja orang lain untuk kepentingannya sendiri, keadaan anakrisme inilah keadaan dari sisi alamiah manusia.

Klarifikasi tindakan kekerasan, kebrutalan fisik dan kekacauan yang dimaknai Anarkis

Tidak ada negara berarti itulah anarkisme, yang berarti Negara harus dihapuskan. Tapi kesalahpahaman yang telah menjadi kesepakatan didalam masyarakat adalah istilah  anarkisme telah menyebar maknanya kedalam bentuk tindakan kekerasan, kebrutalan fisik dan kekacauan. Kesalahpahaman filosofis anarkisme pun ternyata telah dilanggengkan oleh media-media yang ada di Indonesia. Media, terutama televisi dan surat kabar acap kali menayangkan berita berita yang menggembar-gemborkan anarkis sebagai tindakan rusuh.
Coba kita lihat yang terjadi di Indonesia, ketika beberapa orang sedang berbincang-bincang tentang anarkis, cenderung mereka memahami anarkis itu adalah tindak kekerasan. Makna yang selalu keluar pun dari masyrakat pastilah makna yang cenderung kepada tindakan yang negatif. 

Pernahkan kita mencoba untuk melakukan demonstrasi? Memahaminya dengan turun kejalan dan menuntut perubahan yang ada? Dan stigma apa yang kita terima ? Pastilah stigma yang dilayangkan kepada kita adalah pelarangan-pelarangan untuk tidak melakukannya. Hal ini yang berat dan perlu dilakukan, manusia haruslah keluar dari zona aman. Zona yang penuh dengan konflik yang semestinya kitalah yang memahaminya, mengkritisinya dan melakukan perubahan. Zona yang memang penuh dengan dilema-dilema yang harus dipilihnya. Antara diam atau terus bergerak, apatis atau aktivis dan anarkis atau tidak ada perubahan sama sekali.

Contoh lain, demonstran yang sedang berdemonstrasi dan turun kejalan, melakukan tindakan-tindakan yang menganggu aktivitas rakyat, kerumunan massa yang saling mendorong-dorong, mengganggu aktivitas jalan, dan membuat pengrusakan seperti membakar ban, mencoret-coret dinding. Dengan tuntutan protes inilah yang selalu dilihat masyrakat sebagai bentuk tindakan anarkis. Pengrusakan, membakar ban, mencoret-coret dinding dan menggaggu aktivitas rakyat sama sekali bukan tindak kriminal yang melanggar tata hukum negara. Kita pun sering melihat penyangan aksi demonstran selalu berakhir rusuh dan anarkis, dan kitapun sering mengkonotasikannya kedalam bentuk tindakan negatif. Media seringkali salah kaprah dalam menayangkan hal yang seperti ini. Menyesakkan ketika perjuangan demonstran yang rela turun kejalan, menuntut perubahan kearah lebih baik ini dianggap sebagai tindakan rusuh. Ini hanyalah cara, cara yang sudah menjadi paham yang terideologi oleh kaum-kaum anarkis. Cara yang memang bertujuan untuk membebaskan setiap hak dan nurani manusia. Cara yang berbasis pada pemberontakan kepada otoritas Negara.

Bandingkan dengan tindakan anarkis yang sering masyrakat artikan dengan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat negara. Menguras uang rakyat, menyelewengkan dana pembangunan, kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat, penggusuran PKL, bahkan jika berbicara lebih luas, kita bisa memaknai bahwa korporasi asing sudah menghisap tenaga rakyat dan SDA. Semuanya merupakan tindakan yang tidak bermoral dan tindakan yang tidak memihak pada kebebasan rakyat. Hal ini tidak fair, ketika kita memahami anarkis tetapi tidak memahami keburukan –keburukan yang negara lakukan. Negara ada untuk membatasi masyrakat dengan otoritasnya tetapi kaum anarkis ada untuk menciptakan kebebasan yang berujung kedamaian.

Terbayangkah jika kaum anarkis masih saja bekonotasi negatif dan mengahantui pikiran kita?. Bisa jadi mereka yang bertindak anarkis selalu disalahkan, bahkan akan terus dijadikan sesuatu yang membahayakan bagi masyarakat. Hal inilah yang perlu kita diklarifikasi dari sekarang, jika stigma masyrakat dalam memandang anarkisme selalu berporos pada tindakan-tindkan yang negatif pastilah pemaknaan negatif selalu langgeng, yang berarti kita sedang memahami keburukan kaum anarkis ketika sedang berdemonstrasi, memahami kekacauan kaum anarkis ketika mereka sedang turun kejalan dan berterus terang bahwa anarkis adalah tindakan salah. Oleh karena itu, atas alasan itu semua dan kita hari ini seharusnya perlu merenungkan secara kritis bahwa anarkisme adalah kebalikan dari ketidakteraturan dan kekacauan.