Februari 1933, sekelompok matros membajak kapalnya
sendiri. Zeven Provincien, nama kapal perang milik Angkatan Laut Hindia Belanda
itu berada di bawah kendali para kelasinya, sebagai wujud solidaritas sebagai
sesama kelasi pribumi yang diperlakukan semena-mena oleh penguasa kolonial.
Kapal Oleng Kapten !
Kiri mundur. Kanan dayung maju.
Kedepan terjang ombak. Begitulah aba-aba yang diteriakkan oleh seorang Kapten dari belakang perahu. Itulah
seharusnya di dalam sebuah kapal.
Saya yang berada di mulut perahu
bagian depan seketika mendayung maju, membiarkan rekan yang dikanan mendayung
maju. Perahu berbelok ke kiri, menghindari setumpuk karang yang terlihat
mencuat dari dasar laut, mempengaruhi arus di sekitarnya. Deras dan keras.
Disinilah saya berada. Di dalam
Kapal tua ber-cat biru. Sedikit berkarat ditepi beranda. Dayungnya pun sompel
di makan usia. Kapal ini terbentuk dari risalah zaman pada waktu itu. Orde lama,
Orde baru, Reformasi, hingga saat ini. Hingga dimana isu agama dijadikan alat
untuk berkuasa.
Kapal oleng Kapten !
Ada istilah pallogosentris memaknai kalimat itu. Keadaan gawat. Kondisi di mana kapal sedang mengalami
gangguan eksternal. Secara struktural, kalimat ini adalah kalimat perintah.
Namun, secara pragmatis berarti 'menandakan situasi berbahaya'. Sebuah illocution yang berarti seluruh
awak harus bekerja keras membalikkan kapal kembali menjadi normal. Solusi harus
segera dibuat, kritik harus diterima, saran harus di lakukan. Kerja sama adalah
penting untuk kalimat itu.
Kalimat ini adalah presence dari
sebuah ketidak hadiran (absence). Kalimat yang tersaji dalam konteks gawat. Kondisi
dimana kapal mengalami turbulensi lalu oleng. Sang 'kapten' adalah nakhoda
dalam pelayaran kapal. Sebuah kapal memiliki satu destinasi yang dituju. Dalam
navigasinya, anak buah sang kapten saling berkoordinasi menuju tujuan bersama.
Ada sistem hierarkis yang terjadi. Kapten menjadi peringkat superior dalam
pelayaran. Ada leadership dalam navigasi kapal. Tidak mungkin ada 2
atau 3 kapten untuk satu kapal. Tujuan yang satu mungkin tidak akan
tercapai.
Saat termaktub tanda bahaya
'oleng', sang kapten akan lekas bertindak. Semua pengetahuan kapten menghadapi
turbulensi perairan pun muncul. Empirisme radikal sang kapten akan pengalaman
dalam kondisi oleng ia harus ingat. Mungkin dari literasi yang pernah ia baca.
Atau juga dari pengalaman sesama kapten saat kapalnya bersandar di satu
pelabuhan. Dengan cekatan dan tangkas, pikiran sang kapten mencari solusi.
Dengan sigap pula perintah harus kapten keluarkan agar dengan segera anak
buahnya mengembalikan kapal ke kondisi 'non-oleng'.
Kapal oleng Kapten !
Kalimat itu adalah simbol dari kehidupan.
Di kerasnya Jakarta, Pusat Ibu Kota. Indonesia. Kami adalah minoritas. Kami
berencana mengarungi laut. Laut adalah demakrasi dari sebuah bangsa. Bagai
sebuah 'Noah ark' simbolisme kapal menjadi universalitas tanda di tiap kepala
kita. Ingat Kisah bahtera Nabi Nuh yang menyelamatkan beragam makhluk di kitab
suci muncul di kepala kita. Kapalnya pun diombang-ambing lautan yang berasal
dari banjir 40 hari 40 malam. Sebuah kondisi putus asa makhluk hidup. Nabi Nuh
adalah Juru Selamat dalam bencana ini. Ada faktor turbulensi eksternal (banjir,
ramalan, dan jalan selamat) yang terlibat. Dan secara brikolase hal ini menjadi
sebuah metafora perjalanan kami.
Kapal ini pernah mengarungi
setiap zamannya. Kapal ini memiliki lebar 6 meter, panjang sekitar 9 meter. Ketika kau di
dalamnya, butuh dua bulan untuk tuntas menyelesaikan tugas dan kembali ke
daratan terdekat.
0 Komentar:
Posting Komentar