Apa yang Sedang Terjadi dengan Gereja-Gereja?

0 Komentar

Orang-orang amerika latin, dari Meksiko di utara sampai ke Cile di selatan, dalam banyak aspek memiliki kebudayaan yang sama. Orang-orang Amerika Latin yang lebih tua masih mengingat masa manakala pada hakikatnya hanya ada satu agama, yaitu Katolik Roma. Pada abad ke-16, para penakluk dari Spanyol memaksakan hal itu dengan kekuatan senjata. Di Brasil, si penjajah adalah Portugal yang beragama Katolik Roma. Selama 400 tahun, Gereja Katolik mendukung pemerintahan yang berkuasa dengan imbalan dukungan ekonomi dan pengakuan sebagai agama resmi.
Namun, pada tahun 1960-an, beberapa imam Katolik mulai sadar bahwa dengan mendukung golongan elit pemerintah, mereka kehilangan dukungan masyarakat umum. Mereka mulai berkampanye untuk membela si miskin, khususnya dengan menyebarkan apa yang dikenal sebagai teologi pembebasan. Gerakan ini dimulai di Amerika Latin sebagai protes terhadap kemiskinan di kalangan banyak penganut agama Katolik.
Meskipun para klerus sudah melibatkan diri dalam gerakan politik yang populer, jutaan orang telah meninggalkan iman Katolik dan mencoba gereja-gereja lain. Agama-agama yang mengadakan kebaktian yang disertai tepukan tangan dan lagu-lagu pujian yang dinyanyikan dengan bersemangat atau dengan suasana seperti konser rock, berkembang dan berlipat ganda. ”Gerakan Evangelis di Amerika Latin terpecah-pecah menjadi tak terhitung banyaknya Gereja-Gereja yang terpisah,” kata Duncan Green, dalam bukunyaFaces of Latin America. ”Sering kali, gereja-gereja itu ada di bawah kendali seorang pastor saja. Sewaktu anggota suatu jemaat bertambah, sering kali jemaat itu akan terpecah menjadi Gereja-Gereja baru.”

Selama lebih dari 1.600 tahun, kebanyakan daerah Eropa dikuasai oleh pemerintahan-pemerintahan yang mengaku Kristen. Seraya kita sekarang memasuki abad ke-21, apakah agama di Eropa berkembang? Pada tahun 2002, seorang sosiolog bernama Steve Bruce, dalam bukunya God is Dead—Secularization in the West (Allah Sudah MatiSekularisasi di Barat), berkata mengenai Inggris, ”Pada abad kesembilan belas hampir semua pernikahan disertai upacara keagamaan.” Namun, pada tahun 1971, hanya 60 persen pernikahan di Inggris yang disertai upacara keagamaan. Pada tahun 2000 hanya 31 persen.
Mengomentari kecenderungan ini, koresponden agama dari Daily Telegraph London menulis, ”Semua denominasi utama, dari Gereja Anglikan dan Katolik Roma hingga Gereja Metodis dan Persatuan Gereja-Gereja Reformasi, sedang mengalami kemerosotan jangka panjang.” Mengenai sebuah laporan dia berkata, ”Dengan hanya dua persen penduduk yang menghadiri kebaktian hari Minggu, Gereja-Gereja Inggris akan menuju kepunahan pada tahun 2040.” Pernyataan yang sama telah dibuat mengenai agama di Belanda.
”Selama beberapa dekade belakangan ini, negeri kami tampaknya cenderung untuk semakin sekuler,” komentar sebuah laporan dari Kantor Perencanaan Sosial dan Budaya Belanda. Pada tahun 2020, diantisipasi bahwa 72% penduduk tidak lagi mempunyai keterkaitan apa pun dengan agama.” Sebuah narasumber Jerman mengatakan, ”Semakin banyak orang Jerman beralih ke ilmu sihir dan ilmu gaib demi mendapatkan penghiburan yang dahulu mereka peroleh dari gereja-gereja, pekerjaan serta keluarga. . . . Gereja-Gereja di seluruh negeri terpaksa tutup karena kekurangan jemaat.”
Di Eropa, orang-orang yang masih pergi ke gereja biasanya melakukannya bukan karena ingin mengetahui apa yang Allah kehendaki dari mereka. Sebuah laporan dari Italia mengatakan, ”Orang-orang Italia menyesuaikan agama mereka supaya cocok dengan gaya hidup mereka.” Seorang sosiolog di sana mengatakan, ”Kami mengambil dari khotbah paus apa yang cocok untuk kami.” Hal yang sama juga dikatakan mengenai orang Katolik di Spanyol. Di sana, semangat beragama telah digantikan oleh konsumerisme dan pencarian akan surga ekonomi—dalam kehidupan sekarang ini.
Semua tren ini sangat bertentangan dengan Kekristenan yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Kristus dan para pengikutnya. Yesus tidak menawarkan agama ”prasmanan”, yang memungkinkan orang bebas memilih apa yang mereka sukai atau menolak apa yang tidak mereka sukai. Dia berkata, ”Jika seseorang ingin mengikuti aku, hendaklah dia menyangkal dirinya sendiri dan mengangkat tiang siksaannya hari demi hari dan terus mengikuti aku.” Yesus mengajarkan bahwa jalan hidup Kristen menuntut pengorbanan dan upaya.—Lukas 9:23.

Pasar swalayan agama
  
Direktur Dinas Pelayanan Rohani Nasional dari Gereja Katolik Prancis dikutip mengatakan, ”Kita sedang menyaksikan terbentuknya pasar swalayan agama. Orang-orang mengikuti kebaktian, dan jika mereka tidak menemukan yang cocok dengan selera mereka, mereka pergi ke tempat lain.” Dalam sebuah penelitian atas agama di Eropa, Profesor Grace Davie dari Exeter University di Inggris berkata, ”Orang-orang hanya sekadar ’memilih dan mencampur’ berbagai kebaktian agama yang ditawarkan. Agama, sama seperti banyak hal lainnya telah menjadi soal pilihan, gaya hidup dan selera.”
Beberapa gereja mempelajari metode bisnis untuk mengetahui cara terbaik ”memasarkan” kebaktian mereka. Jemaat membayar ribuan dolar untuk menyewa perusahaan-perusahaan konsultan. ”Investasi itu pantas dilakukan,” kata seorang pendeta yang merasa puas, demikian laporan tentang perusahaan-perusahaan konsultan tersebut. Gereja-gereja besar, yang jumlah jemaatnya sampai ribuan, sangat berhasil secara keuangan sehingga menarik perhatian publikasi bisnis, seperti The Wall Street Journal danThe Economist. Dalam laporan itu disebutkan bahwa gereja-gereja besar umumnya menawarkan ”’tempat belanja yang lengkap’ untuk tubuh dan jiwa”. Di dalam kompleks gereja bisa ada restoran, kafé, salon kecantikan, sauna, dan berbagai fasilitas olahraga. Sarana atraksi termasuk teater, jumpa selebriti, dan musik kontemporer. Tetapi, apa yang diajarkan oleh para pendeta?
Tidak heran, ’injil kemakmuran’ adalah tema yang populer. Kepada orang-orang yang percaya dikatakan bahwa mereka akan kaya dan sehat apabila mereka banyak menyumbang ke gereja mereka. Mengenai moral, Allah sering digambarkan sebagai pribadi yang toleran. Seorang sosiolog mengatakan, ”Gereja-gereja Amerika bersifat menyembuhkan, bukan menghakimi.” Agama-agama yang populer biasanya berfokus pada kiat-kiat untuk kehidupan yang sukses. Semakin banyak orang merasa nyaman dengan gereja-gereja yang tidak terikat pada suatu denominasi, yang hampir tidak pernah menyinggung soal doktrin, karena dianggap sebagai pemecah belah. Namun, soal-soal politik sering dibahas, kerap kali dengan terus terang dan gamblang. Contoh-contoh keterlibatan gereja dalam politik belakangan ini telah sering membuat beberapa pendeta merasa malu.
Apakah ada kebangunan rohani di Amerika Utara? Pada tahun 2005, majalah Newsweekmelaporkan tentang populernya ”kebaktian yang disertai teriakan-teriakan, acara pingsan atau kesurupan, gerakan mengentak-entakkan kaki”, dan juga praktek-praktek keagamaan lainnya, tetapi kemudian menyebutkan, ”Apa pun yang sedang terjadi, itu bukanlah ledakan jumlah pengunjung gereja.” Hasil survei memperlihatkan bahwa jumlah orang yang mengaku tidak memiliki keterikatan agama semakin meningkat. Beberapa jemaat berkembang hanya karena di tempat lain ada yang merosot. Konon, orang-orang ”berbondong-bondong” meninggalkan agama-agama tradisional dengan segala upacara, musik organ, dan jubah pendetanya.
Dalam pembahasan singkat ini, kita telah melihat gereja-gereja terpecah-belah di Amerika Latin, kehilangan jemaat mereka di Eropa, dan mempertahankan dukungan di Amerika Serikat dengan menawarkan acara hiburan dan hal-hal yang mendebarkan. Tentu saja, ada banyak perkecualian atas tren yang umum ini, namun gambaran keseluruhan hanya satu, yakni gereja-gereja sedang berjuang mempertahankan popularitasnya. Apakah ini berarti bahwa Kekristenan sedang merosot?


Solusi dari Homogenisasi Produk Global (Studi kasus Produk local “Repoeblik Telo”)

0 Komentar



Masih teringat dengan Lirik salah satu Band Ternama Indonesia. Berjudul 100% Love Indonesia. “baju ini Indonesia, HP ini buatan Indonesia, televisi Indonesia, semuanya serba Indonesia, Semuanya karya anak bangsa”, begitu yang disampaikan. Sedikit bermimpi dengan lirik ini, lalu tenggelam ketika pada waktu yang bersamaan sebuah kelompok pemuda di Purwokerto sedang asyik cicipi Hamburger, dengan memakai tas tangan Perancis berharga seratusan juta. Lalu, setiap  anggota bergilir memakainya. Seorang politisi tebar moral di televesi, berbalut Hugo Boss, jas mahal Jerman. Kesemuanya mempertegas bahwa Kesadaran akan realita manusia dipalsukan. Atau dengan meminjam kata Jean Baudrialard bahwa manusia telah hidup dalam Hyperealitas. Setidaknya beberapa penggalan kalimat diatas jadi penghantar sentimentil tulisan yang berjudul Naas Produk Asing Serang Nilai Lokal. Indonesia dalam fase Global segera menuju Sistem Kapital.

***

Indonesia Dalam Fase Global Menuju Sistem Kapitalisme
            Indonesia mulai memasuki hari-hari ini memasuki fase globalisasi. Salah satunya adalah globalisasi ekonomi, yang merupakan proses perdagangan bebas dengan kegiatan ekonominya. Negara di seluruh dunia menjadi  satu "pasar". Terintegrasi tanpa rintangan atau hambatan teritorial negara. Globalisasi menolak atau menghapus hambatan arus modal, barang dan jasa. Itulah sebabnya banyak perusahan asing tanamkan modal di Indonesia. Bagi penikmat marxis, biasanya menamakan perusahan asing sebagai bentuk Imperialis. Sastrawan lebih suka menyebutnya lintah gerogoti tenaga rakyat.
            Dalam fase globalisasi, hubungan ekonomi nasional dengan perekonomian internasional menjadi lebih dekat. Pada skala nasional Negara dunia ketiga khusunya Indonesia, globalisasi adalah peluang besar bagi pasar internasional. Penanaman Modal gencar di investasikan di Indonesia. Ya, Indonesia punya segalanya untuk memenuhi keuntungan Pasar Internasional.
            Globalisasi menghilangkan sekat perdangangan modal. Derasnya arus modal, barang dan jasa, mengakibatkan perusahaan-perusahaan internasional memilih memproduksi barangnya di negara yang dipilih. Negara dunia ketiga biasanya menjadi favorit, dan Indonesia tak paham soal pasar. Pertimbangan mendasar produktivitas Pemodal asing karena biaya produksi murah. Hal ini akibat dari biaya tenaga kerja Indonesia yang rendah.
            Pada tanggal 3 juni 2014 lalu, liputan6.com dalam judul berita “Upah Buruh Rendah Ancam Pertumbuhan Negara Ini” menjelaskan bahwa upah buruh yang rendah mengakibatkan korporasi asing semakin gencar menanamkan modal. Sehingga perusahaan local kehilangan untung. Tak hanya itu, berbicara mengenai aspek-aspek infrastruktur yang mendukung pun dilihat, termasuk iklim usaha dan politik yang kondusif. Negara-negara yang dipilih, seperti Indonesia merupakan pilihan tepat.
            David Ricardo dalam teori "Comparative Advantage" dijelaskan bahwa melalui perdagangan dan spesialisasi dapat mengefesiensikan dunia, output dunia telah meningkat dan masyarakat akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk peningkatan pendapatan, sisanya akan meningkatkan daya beli bahkan tabungan (saving) . Daya beli dan tabungan adalah cermin dari masyarakat dalam keadaan kemakmuran.
            Alasan yang dikemukakan David Ricardo Menurut saya malahan memungkinkan masyarakat perdagangan bebas dari berbagai negara untuk mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menempatkan konsumen memiliki banyak pilihan barang yang dibutuhkan dengan harga yang kompetitif (murah) dan barang-barang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tentu menjadi masalah. Secara bersamaan akan mempengaruhi modal dalam negeri dan produk dalam negeri. Terutama ketika ditempatkan pada kualitas barang-barang domestik prokduksi miskin dan biaya produksi - di Indonesia - yang cukup tinggi.
            Realitas jelas produk akan berlanjut pada tingkat produksi barang "perusahaan" Indonesia yang tidak optimal. Kekalahan ini tidak hanya tingkat dihasilan karena persaingan barang-barang berkualitas tetapi juga pada harga. Selain produksi barang, selain murah dan terjangkau harga dengan daya beli tetapi ditambah dengan kualitas produksi yang baik. Fakta mengatakan bahwa persaingan ekonomii dikuatkan oleh "selera konsumen" masyrakat Indonesia. Sederhananya bahwa masyrakat khsusunya Indonesia cenderung menyukai barang-barang produk impor.
            Menurut saya ini permasalahan ini adalaha persoalan kemauan politik Indonesia sendiri. Pemerintah lebih terkonsentrasi pada kemungkinan pemberdayaan perekonomian internasional, bukan nasional khususnya mengenai kebijakan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha mikro, kecil dan menengah local. Dan dampaknya perkembangan sistem kapitalisme di Indonesia menciptakan produk-produk asing yang menyeragamkan selera local menjadi selera global.

Kemudahan Informasi Ciptakan Homogenisasi Budaya
Jika para ahli mengatakan bahwa penyebab globalisasi adalah perdagangan antarnegara, sebagaimana yang saya kemukakan di atas, maka menurut saya, dewasa ini globalisasi lebih disebabkan oleh dua hal di atas yang saling bergantung satu sama lain: sistem kapitalisme dan teknologi, terutama teknologi informasi. Produk dari sebuah usaha kapitalis cepat tersebar dan diterima oleh masyarakat global karena adanya pengenalan produk dalam bentuk iklan melalui sarana teknologi informasi massal. Sedangkan produk teknologi informasi terbaru bisa dinikmati oleh semua orang karena di hegemonikan oleh kapitalis-kapitalis asing.
Dalam konteks produk budaya, homogenisasi bisa berakibat akan terpinggirkannya atau hilangnya produk-produk budaya lokal karena dominasi dari produk budaya global. Jika homogenisasi budaya terus berlangsung tanpa ada usaha menyiasatinya, maka bisa saja suatu saat kita akan merasa asing ketika mendengar keindahan alunan tembang Sinom Parijatha karena terlalu lama menganggap Hip Hop sebagai satu-satunya musik yang layak didengar. Atau mungkin anak cucu kita bisa jadi lupa akan lezatnya ayam bakar penyet Suroboyo, karena di masa mereka rumah makan tersebut telah bangkrut karena kalah bersaing dengan McDonald’s atau KFC.
Semua pihak haruslah sadar akan sisi negatif dari homogenisasi budaya. Tanpa kesadaran ini, mustahil kita bisa mengatasi gempuran budaya global yang mengikis budaya lokal. Yang jadi permasalahan adalah ternyata masih banyak anggota masyarakat kita yang belum sadar, dan kebanyakan kalangan anak muda kita justru menjadi pendukung—secara langsung maupun tidak—produk-produk budaya global. Untuk itulah di sini peran pemerintah menjadi sesuatu yang sangat krusial. Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah semestinya menyusun dan menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum muatan lokal yang lebih disempurnakan agar setiap pelajar kita memiliki pengetahuan dan kecintaan yang mendalam terhadap khasanah budaya lokal masing-masing serta menjadi kreatif dalam berinovasi dengan memanfaatkan kekayaan khasanah budaya tersebut.
Di sisi lain, pemerintah sebagai otoritas berwenang juga memberikan ruang yang seluas-luasnya dan dukungan yang sebesar-besarnya bagi setiap orang yang menggiatkan produk budaya lokal. Tentunya, hanya pemerintah saja yang berperan aktif tidak akan pernah berhasil mengatasi gelombang homogenisasi ini. Perlu peran serta semua pihak dalam mendukung langkah tersebut. Intinya, semua pihak harus berupaya untuk memberdayakan potensi kekayaan budaya lokal.

Pemberdayaan Produk Lokal ( Studi Kasus Repoeblik Telo )
Memberdayakan potensi budaya lokal berarti menggali semua kekuatan dan kreativitas yang kita miliki dalam rangka menjadikan potensi budaya lokal sebagai produk budaya yang memiliki daya tarik dan daya saing yang sustainable (berkelanjutan) terhadap produk budaya global.
Hal pertama yang harus dilakukan, menurut saya, adalah jeli melihat peluang. Kita adalah bangsa yang sangat kaya dengan khasanah budaya. Untuk setiap produk budaya global yang mendominasi, kita pasti memiliki potensi produk budaya lokal yang dapat menandingi. Akan tetapi, seringkali ketika berbicara mengenai produk budaya lokal “melawan” produk budaya global kita terjebak dalam paradigma pemikiran bahwa yang dimaksud dengan produk budaya lokal adalah produk-produk tradisional ataupun benda-benda warisan budaya. Menurut saya hal ini salah kaprah. Ketika kita mencoba “mengadu” ayam goreng McDonald’s dengan resep rawonwarisan leluhur, maka sebenarnya kita telah menggali lubang sendiri. McDonald’s tidak akan begitu saja tumbang oleh pesona kelezatan rawon “Setan” ataupun rawon resep warisan leluhur itu.
Karena itu, sudah saatnya untuk mencoba menyelidiki adakah peluang usaha dengan menciptakan produk baru yang dapat diterima oleh masyarakat luas dan memiliki daya saing internasional, namun menggunakan bahan baku asli Indonesia, yang hanya ada di Indonesia, dan memiliki ciri khas Indonesia. Sebuah contoh yang bagus adalah Repoeblik Telo (Bakpao Telo). Semua bahan baku produk Repoeblik Telo asli dari Indonesia dan sangat dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan. Produknya didesain dan dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kualitas berdaya saing internasional.
Repoeblik Telo di atas merupakan sebuah contoh keberhasilan dari kejelian melihat peluang dan kreativitas serta inovasi dari pendirinya. Kreativitas dan inovasi diperlukan untuk menciptakan sebuah produk budaya yang bisa bersanding dengan produk budaya global. Menurut saya sah-sah saja seandainya kita melihat dan mencontoh beberapa hal dari keberhasilan produk-produk budaya global untuk kemudian kita terapkan, tentunya dengan penyesuaian, pada produk budaya lokal kita.  Pada kasus Bakpao Telo, kita tahu bahwa teloatau ubi jalar adalah sumber pangan yang sangat melimpah di negara kita yang beriklim tropis ini. Banyak sekali varian makanan yang bisa dihasilkan oleh bahan makanan tersebut. Permasalahannya adalah, varian makanan yang dihasilkan cenderung tradisional dan itu-itu saja. Dari dulu sampai sekarang belum ada varian makanan lain yang dapat dihasilkan dari ubi rambat. Penggagas Repoeblik Telo sepertinya berusaha memikirkan untuk membuat ubi rambat menjadi makanan lain selain yang sudah ada. Mereka berusaha melakukan inovasi dengan kreativitas mereka. Tampaknya semua yang mereka lakukan telah menunjukkan hasil dengan tersedianya empat makanan berbahan dasar ubi rambat: Bakpao Telo, Mie Telo, Es Krim Telo, dan Bakpia Telo (http://www.spat-indonesia.or.id).
Inovasi yang dilakukan Repoeblik Telo tidak hanya pada bahan dasarnya saja, melainkan juga pada pemasarannya. Walaupun masih memfokuskan diri pada pemasaran yang bersifat pasif, yaitu dengan membuka sebuah gerai di Kota Lawang, Malang, namun Repoeblik Telo telah menerapkan standar modern pada pengemasan dan penyimpanan. Pengemasan yang modern ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan orang-orang tertarik untuk percaya dan membeli produk dari Repoeblik Telo.
Inovasi dalam pemasaran akan membuat suatu produk budaya menjadi dikenal oleh konsumen dengan cara yang lain sehingga bisa menimbulkan kesan yang lain juga terhadap produk tersebut. Indonesia memiliki banyak sekali warisan budaya yang sudah menjadi objek wisata. Akan tetapi, sebagian besar objek wisata budaya tersebut hanya ramai ketika baru diresmikan, dan lambat laun menjadi tidak menarik dan sepi pengunjung. Pada era globalisasi seperti saat ini ada saatnya orang merasa jenuh dengan segala kemodernan dan tiba-tiba ingin melihat sesuatu yang berbeda yang menawarkan tradisionalitas dan eksotisme.
Objek-objek wisata budaya di atas sebenarnya sudah merupakan modal yang luar biasa. Namun jika tidak dikemas dan dipasarkan dengan baik, maka yang terjadi adalah eksotisme yang tidak bisa dinikmati. Karena itulah, harus ada inovasi dalam pemasaran objek wisata budaya. Jika produk budaya global memaksimalkan pemanfaatan teknologi dalam rangka pemasarannya, maka sebenarnya sudah seharusnyalah bagi kita untuk mencontoh penggunaan teknologi yang sama, atau mungkin lebih maju, dalam memasarkan dan memperbaiki daya saing produk budaya kita. Contoh yang sangat bagus adalah sebagaimana yang diterapkan Dinas Pariwisata Yogyakarta untuk memperbanyak kunjungan wisatawan ke candi Prambanan. Mereka menawarkan sesuatu yang lain, tidak hanya wisata candi, melainkan juga wisata budaya lain, yaitu pagelaran sendratari Ramayana yang dilaksanakan pada malam-malam tertentu setiap minggunya.
Hal terakhir yang harus dilakukan untuk menambah daya saing produk budaya lokal kita adalah jaminan kualitas dan pelayanan. McDonald’s bisa menjadi sebuah perusahaan multinasional karena mereka total dalam berusaha. Mereka tidak mau bermain-main dengan kondumen mereka dan selalu memperlakukan mereka bak raja. Bagi mereka, kepercayaan setiap konsumen adalah sebuah modal yang sangat berharga yang menyangga bisnis mereka. Oleh karena itu mereka mati-matian menjaga kualitas produk dan pelayanan mereka. Hal tersebut seyogyanya menjadi hal yang harus kita tiru dalam mengelola produk-produk budaya kita. Sebagaimana yang saya contohkan di atas, banyak sekali objek wisata budaya kita yang terbengkalai. Jika kita memang ingin menjadikan budaya kita sebagai tuan rumah di negeri sendiri, maka sudah seharusnyalah kita menjaga dan memperbaiki objek-objek wisata budaya tersebut agar layak disandingkan dengan Museum Louvre di Paris. Kebersihan, kemudahan informasi dan pelayanan, serta kelestarian objek wisata budaya merupakan hal mutlak yang harus dijaga agar menjadi produk budaya yang dapat diandalkan di kancah internasional.
Pada Repoeblik Telo, jaminan kualitas sangat dijaga (http://www.spat-indonesia.or.id). Mereka hanya menggunakan ubi rambat organik yang bebas pestisida dan zat kimia sebagai bahan baku produk-produknya. Ini tentu saja membuat para konsumen semakin mudah percaya akan kebaikan kandungan nutrisi produk-produk tersebut bagi tubuh. Selain itu, metode penyimpanan dan pengolahan mereka telah menggunakan metode yang paling mutakhir, sehingga seluruh kebaikan nutrisi ubi rambat tidak akan banyak berkurang setelah melewati proses pengolahan dan penyimpanan. Sebuah standar untuk produk global telah dilakukan oleh Repoeblik Telo.


Daftar Pustaka

Fakih, Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar, Jogyakarta.

Mahmud Al Khalidi. 2002. Kerusakan dan Bahaya Sistem Ekonomi Kapitalis. Jakarta: Wahyu Press.

Yadzily, Ace Hasan S. 2005. Keniscayaan Globalisasi dan Nasib civil Society. Ciputat : INCIS

arixtutorial.blogspot.com. 2011.  Globalisasi Perekonomian.

ogiezone.blogspot.com. 2009. Ancaman Terhadap Penyeragaman Budaya.


Pujosaktinurcahyo.wordpress.com. 2010. Globalisasi, Homogenisasi Budaya, dan Produk Budaya Lokal.

Spat-Indonesia.or.id. 2014. Repoeblik Telo (http://www.spat-indonesia.or.id)