Masih teringat dengan Lirik salah satu Band Ternama Indonesia.
Berjudul 100% Love Indonesia. “baju ini Indonesia, HP
ini buatan Indonesia, televisi Indonesia,
semuanya serba Indonesia, Semuanya karya
anak bangsa”,
begitu yang disampaikan. Sedikit bermimpi dengan lirik ini, lalu tenggelam
ketika pada waktu yang bersamaan
sebuah kelompok pemuda di Purwokerto
sedang asyik cicipi Hamburger, dengan memakai tas tangan Perancis berharga
seratusan juta. Lalu, setiap anggota bergilir memakainya. Seorang
politisi tebar moral di televesi, berbalut Hugo Boss, jas mahal Jerman. Kesemuanya
mempertegas bahwa Kesadaran akan realita manusia dipalsukan. Atau dengan
meminjam kata Jean Baudrialard bahwa manusia telah hidup dalam Hyperealitas.
Setidaknya beberapa penggalan kalimat diatas jadi penghantar sentimentil
tulisan yang berjudul Naas Produk Asing Serang
Nilai Lokal. Indonesia dalam fase Global segera menuju Sistem Kapital.
***
Indonesia Dalam Fase Global Menuju
Sistem Kapitalisme
Indonesia mulai memasuki hari-hari ini
memasuki fase globalisasi. Salah satunya adalah globalisasi ekonomi, yang
merupakan proses perdagangan bebas dengan kegiatan ekonominya. Negara di
seluruh dunia menjadi satu
"pasar". Terintegrasi tanpa rintangan atau hambatan teritorial
negara. Globalisasi menolak atau menghapus hambatan arus modal, barang dan
jasa. Itulah sebabnya banyak perusahan asing tanamkan modal di Indonesia. Bagi
penikmat marxis, biasanya menamakan perusahan asing sebagai bentuk Imperialis.
Sastrawan lebih suka menyebutnya lintah gerogoti tenaga rakyat.
Dalam
fase globalisasi, hubungan ekonomi nasional dengan perekonomian internasional
menjadi lebih dekat. Pada skala nasional Negara dunia ketiga khusunya Indonesia,
globalisasi adalah peluang besar bagi pasar internasional. Penanaman Modal
gencar di investasikan di Indonesia. Ya, Indonesia punya segalanya untuk
memenuhi keuntungan Pasar Internasional.
Globalisasi
menghilangkan sekat perdangangan modal. Derasnya arus modal, barang dan jasa, mengakibatkan
perusahaan-perusahaan internasional memilih memproduksi barangnya di negara
yang dipilih. Negara dunia ketiga biasanya menjadi favorit, dan Indonesia tak
paham soal pasar. Pertimbangan mendasar produktivitas Pemodal asing karena
biaya produksi murah. Hal ini akibat dari biaya tenaga kerja Indonesia yang
rendah.
Pada
tanggal 3 juni 2014 lalu, liputan6.com
dalam judul berita “Upah Buruh Rendah Ancam Pertumbuhan Negara Ini” menjelaskan
bahwa upah buruh yang rendah mengakibatkan korporasi asing semakin gencar
menanamkan modal. Sehingga perusahaan local kehilangan untung. Tak hanya itu,
berbicara mengenai aspek-aspek infrastruktur yang mendukung pun dilihat,
termasuk iklim usaha dan politik yang kondusif. Negara-negara yang dipilih,
seperti Indonesia merupakan pilihan tepat.
David
Ricardo dalam teori "Comparative Advantage" dijelaskan bahwa melalui
perdagangan dan spesialisasi dapat mengefesiensikan dunia, output dunia telah
meningkat dan masyarakat akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk peningkatan
pendapatan, sisanya akan meningkatkan daya beli bahkan tabungan (saving) . Daya
beli dan tabungan adalah cermin dari masyarakat dalam keadaan kemakmuran.
Alasan
yang dikemukakan David Ricardo Menurut saya malahan memungkinkan masyarakat
perdagangan bebas dari berbagai negara untuk mengimpor lebih banyak barang dari
luar negeri. Hal ini menempatkan konsumen memiliki banyak pilihan barang yang
dibutuhkan dengan harga yang kompetitif (murah) dan barang-barang berkualitas. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia tentu menjadi masalah. Secara bersamaan akan mempengaruhi
modal dalam negeri dan produk dalam negeri. Terutama ketika ditempatkan pada
kualitas barang-barang domestik prokduksi miskin dan biaya produksi - di
Indonesia - yang cukup tinggi.
Realitas
jelas produk akan berlanjut pada tingkat produksi barang "perusahaan"
Indonesia yang tidak optimal. Kekalahan ini tidak hanya tingkat dihasilan
karena persaingan barang-barang berkualitas tetapi juga pada harga. Selain
produksi barang, selain murah dan terjangkau harga dengan daya beli tetapi
ditambah dengan kualitas produksi yang baik. Fakta mengatakan bahwa persaingan
ekonomii dikuatkan oleh "selera konsumen" masyrakat Indonesia.
Sederhananya bahwa masyrakat khsusunya Indonesia cenderung menyukai
barang-barang produk impor.
Menurut
saya ini permasalahan ini adalaha persoalan kemauan politik Indonesia sendiri.
Pemerintah lebih terkonsentrasi pada kemungkinan pemberdayaan perekonomian
internasional, bukan nasional khususnya mengenai kebijakan dalam upaya untuk
meningkatkan produktivitas usaha mikro, kecil dan menengah local. Dan dampaknya
perkembangan sistem kapitalisme di Indonesia menciptakan produk-produk asing
yang menyeragamkan selera local menjadi selera global.
Kemudahan Informasi Ciptakan Homogenisasi
Budaya
Jika
para ahli mengatakan bahwa penyebab globalisasi adalah perdagangan antarnegara,
sebagaimana yang saya kemukakan di atas, maka menurut saya, dewasa ini
globalisasi lebih disebabkan oleh dua hal di atas yang saling bergantung satu
sama lain: sistem kapitalisme dan teknologi, terutama teknologi informasi.
Produk dari sebuah usaha kapitalis cepat tersebar dan diterima oleh masyarakat
global karena adanya pengenalan produk dalam bentuk iklan melalui sarana
teknologi informasi massal. Sedangkan produk teknologi informasi terbaru bisa
dinikmati oleh semua orang karena di hegemonikan oleh kapitalis-kapitalis
asing.
Dalam
konteks produk budaya, homogenisasi bisa berakibat akan terpinggirkannya atau
hilangnya produk-produk budaya lokal karena dominasi dari produk budaya global.
Jika homogenisasi budaya terus berlangsung tanpa ada usaha menyiasatinya, maka
bisa saja suatu saat kita akan merasa asing ketika mendengar keindahan alunan
tembang Sinom Parijatha karena terlalu lama menganggap Hip Hop sebagai
satu-satunya musik yang layak didengar. Atau mungkin anak cucu kita bisa jadi
lupa akan lezatnya ayam bakar penyet Suroboyo, karena di masa mereka rumah
makan tersebut telah bangkrut karena kalah bersaing dengan McDonald’s atau KFC.
Semua
pihak haruslah sadar akan sisi negatif dari homogenisasi budaya. Tanpa
kesadaran ini, mustahil kita bisa mengatasi gempuran budaya global yang
mengikis budaya lokal. Yang jadi permasalahan adalah ternyata masih banyak
anggota masyarakat kita yang belum sadar, dan kebanyakan kalangan anak muda
kita justru menjadi pendukung—secara langsung maupun tidak—produk-produk budaya
global. Untuk itulah di sini peran pemerintah menjadi sesuatu yang sangat krusial.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah semestinya menyusun dan
menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum muatan lokal yang lebih
disempurnakan agar setiap pelajar kita memiliki pengetahuan dan kecintaan yang
mendalam terhadap khasanah budaya lokal masing-masing serta menjadi kreatif
dalam berinovasi dengan memanfaatkan kekayaan khasanah budaya tersebut.
Di
sisi lain, pemerintah sebagai otoritas berwenang juga memberikan ruang yang
seluas-luasnya dan dukungan yang sebesar-besarnya bagi setiap orang yang
menggiatkan produk budaya lokal. Tentunya, hanya pemerintah saja yang berperan
aktif tidak akan pernah berhasil mengatasi gelombang homogenisasi ini. Perlu
peran serta semua pihak dalam mendukung langkah tersebut. Intinya, semua pihak
harus berupaya untuk memberdayakan potensi kekayaan budaya lokal.
Pemberdayaan
Produk Lokal ( Studi Kasus Repoeblik Telo
)
Memberdayakan
potensi budaya lokal berarti menggali semua kekuatan dan kreativitas yang kita
miliki dalam rangka menjadikan potensi budaya lokal sebagai produk budaya yang
memiliki daya tarik dan daya saing yang sustainable (berkelanjutan) terhadap
produk budaya global.
Hal
pertama yang harus dilakukan, menurut saya, adalah jeli melihat peluang. Kita
adalah bangsa yang sangat kaya dengan khasanah budaya. Untuk setiap produk
budaya global yang mendominasi, kita pasti memiliki potensi produk budaya lokal
yang dapat menandingi. Akan tetapi, seringkali ketika berbicara mengenai produk
budaya lokal “melawan” produk budaya global kita terjebak dalam paradigma
pemikiran bahwa yang dimaksud dengan produk budaya lokal adalah produk-produk
tradisional ataupun benda-benda warisan budaya. Menurut saya hal ini salah
kaprah. Ketika kita mencoba “mengadu” ayam goreng McDonald’s dengan resep
rawonwarisan leluhur, maka sebenarnya kita telah menggali lubang sendiri.
McDonald’s tidak akan begitu saja tumbang oleh pesona kelezatan rawon “Setan”
ataupun rawon resep warisan leluhur itu.
Karena
itu, sudah saatnya untuk mencoba menyelidiki adakah peluang usaha dengan menciptakan
produk baru yang dapat diterima oleh masyarakat luas dan memiliki daya saing
internasional, namun menggunakan bahan baku asli Indonesia, yang hanya ada di
Indonesia, dan memiliki ciri khas Indonesia. Sebuah contoh yang bagus adalah
Repoeblik Telo (Bakpao Telo). Semua bahan baku produk Repoeblik Telo asli dari
Indonesia dan sangat dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia, terutama
masyarakat pedesaan. Produknya didesain dan dibuat sedemikian rupa sehingga
memiliki kualitas berdaya saing internasional.
Repoeblik
Telo di atas merupakan sebuah contoh keberhasilan dari kejelian melihat peluang
dan kreativitas serta inovasi dari pendirinya. Kreativitas dan inovasi
diperlukan untuk menciptakan sebuah produk budaya yang bisa bersanding dengan
produk budaya global. Menurut saya sah-sah saja seandainya kita melihat dan
mencontoh beberapa hal dari keberhasilan produk-produk budaya global untuk
kemudian kita terapkan, tentunya dengan penyesuaian, pada produk budaya lokal
kita. Pada kasus Bakpao Telo, kita tahu bahwa teloatau ubi jalar
adalah sumber pangan yang sangat melimpah di negara kita yang beriklim tropis
ini. Banyak sekali varian makanan yang bisa dihasilkan oleh bahan makanan
tersebut. Permasalahannya adalah, varian makanan yang dihasilkan cenderung
tradisional dan itu-itu saja. Dari dulu sampai sekarang belum ada varian
makanan lain yang dapat dihasilkan dari ubi rambat. Penggagas Repoeblik Telo
sepertinya berusaha memikirkan untuk membuat ubi rambat menjadi makanan lain
selain yang sudah ada. Mereka berusaha melakukan inovasi dengan kreativitas
mereka. Tampaknya semua yang mereka lakukan telah menunjukkan hasil dengan
tersedianya empat makanan berbahan dasar ubi rambat: Bakpao Telo, Mie Telo, Es
Krim Telo, dan Bakpia Telo (http://www.spat-indonesia.or.id).
Inovasi
yang dilakukan Repoeblik Telo tidak hanya pada bahan dasarnya saja, melainkan
juga pada pemasarannya. Walaupun masih memfokuskan diri pada pemasaran yang
bersifat pasif, yaitu dengan membuka sebuah gerai di Kota Lawang, Malang, namun
Repoeblik Telo telah menerapkan standar modern pada pengemasan dan penyimpanan.
Pengemasan yang modern ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
orang-orang tertarik untuk percaya dan membeli produk dari Repoeblik Telo.
Inovasi
dalam pemasaran akan membuat suatu produk budaya menjadi dikenal oleh konsumen
dengan cara yang lain sehingga bisa menimbulkan kesan yang lain juga terhadap
produk tersebut. Indonesia memiliki banyak sekali warisan budaya yang sudah menjadi
objek wisata. Akan tetapi, sebagian besar objek wisata budaya tersebut hanya
ramai ketika baru diresmikan, dan lambat laun menjadi tidak menarik dan sepi
pengunjung. Pada era globalisasi seperti saat ini ada saatnya orang merasa
jenuh dengan segala kemodernan dan tiba-tiba ingin melihat sesuatu yang berbeda
yang menawarkan tradisionalitas dan eksotisme.
Objek-objek
wisata budaya di atas sebenarnya sudah merupakan modal yang luar biasa. Namun
jika tidak dikemas dan dipasarkan dengan baik, maka yang terjadi adalah
eksotisme yang tidak bisa dinikmati. Karena itulah, harus ada inovasi dalam
pemasaran objek wisata budaya. Jika produk budaya global memaksimalkan
pemanfaatan teknologi dalam rangka pemasarannya, maka sebenarnya sudah
seharusnyalah bagi kita untuk mencontoh penggunaan teknologi yang sama, atau
mungkin lebih maju, dalam memasarkan dan memperbaiki daya saing produk budaya
kita. Contoh yang sangat bagus adalah sebagaimana yang diterapkan Dinas
Pariwisata Yogyakarta untuk memperbanyak kunjungan wisatawan ke candi
Prambanan. Mereka menawarkan sesuatu yang lain, tidak hanya wisata candi,
melainkan juga wisata budaya lain, yaitu pagelaran sendratari Ramayana yang
dilaksanakan pada malam-malam tertentu setiap minggunya.
Hal
terakhir yang harus dilakukan untuk menambah daya saing produk budaya lokal
kita adalah jaminan kualitas dan pelayanan. McDonald’s bisa menjadi sebuah
perusahaan multinasional karena mereka total dalam berusaha. Mereka tidak mau
bermain-main dengan kondumen mereka dan selalu memperlakukan mereka bak raja.
Bagi mereka, kepercayaan setiap konsumen adalah sebuah modal yang sangat
berharga yang menyangga bisnis mereka. Oleh karena itu mereka mati-matian
menjaga kualitas produk dan pelayanan mereka. Hal tersebut seyogyanya menjadi
hal yang harus kita tiru dalam mengelola produk-produk budaya kita. Sebagaimana
yang saya contohkan di atas, banyak sekali objek wisata budaya kita yang
terbengkalai. Jika kita memang ingin menjadikan budaya kita sebagai tuan rumah
di negeri sendiri, maka sudah seharusnyalah kita menjaga dan memperbaiki
objek-objek wisata budaya tersebut agar layak disandingkan dengan Museum Louvre
di Paris. Kebersihan, kemudahan informasi dan pelayanan, serta kelestarian
objek wisata budaya merupakan hal mutlak yang harus dijaga agar menjadi produk
budaya yang dapat diandalkan di kancah internasional.
Pada
Repoeblik Telo, jaminan kualitas sangat dijaga (http://www.spat-indonesia.or.id).
Mereka hanya menggunakan ubi rambat organik yang bebas pestisida dan zat kimia
sebagai bahan baku produk-produknya. Ini tentu saja membuat para konsumen
semakin mudah percaya akan kebaikan kandungan nutrisi produk-produk tersebut
bagi tubuh. Selain itu, metode penyimpanan dan pengolahan mereka telah menggunakan
metode yang paling mutakhir, sehingga seluruh kebaikan nutrisi ubi rambat tidak
akan banyak berkurang setelah melewati proses pengolahan dan penyimpanan.
Sebuah standar untuk produk global telah dilakukan oleh Repoeblik Telo.
Daftar Pustaka
Fakih,
Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar,
Jogyakarta.
Mahmud
Al Khalidi. 2002. Kerusakan dan Bahaya Sistem Ekonomi
Kapitalis. Jakarta: Wahyu Press.
Yadzily, Ace Hasan S. 2005. Keniscayaan
Globalisasi dan Nasib civil Society. Ciputat : INCIS
ogiezone.blogspot.com. 2009. Ancaman Terhadap
Penyeragaman Budaya.
Pujosaktinurcahyo.wordpress.com.
2010. Globalisasi, Homogenisasi Budaya,
dan Produk Budaya Lokal.