Lembaran kertas yang diklip jadi satu pun menjaga malam mereka. Sering dijadikan tameng untuk mengelabu rasa ngantuk, menunduk seolah membaca agar mata tak terlihat sedang mengatup. Mereka sedang rapat. Malam itu telah merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi pagi terjangkau. Dan keringat menanti tubuh mereka disiang hari.
Tak ada yang berubah dari kisah tiga tahun. Hanya tenda pleton yang berubah ganti merk. Kadang ukurannya persis kandang sapi bermuat sepuluh ekor sapi berjejer. Dengan tirai pleton sedikit malu-malu menutup isi tubuhnya. Kadang juga seperti gebyok kayu raksasa yang jadi aling-aling.
Tak ada yang berubah dari kisah tiga tahun. Pleton masih berisi drama Via Do Lorosa. Arogansi Yahudi terhadap umat Nasrani. Padahal, tak sedang mengundang artis. Tak diundang, yang datang malah kebanyakan Artis arogan. Sayang, aku masih kawakan untuk bersilat lidah dipanggung mereka. Apalagi bercerita lebih soal suasana tenda pleton. Sungguh ini memang karena umur. Tak ada apa-apa.
Kakak tertua jadi artis semalam. Barangkali lantaran kakak sudah berumur. Barangkali kakak tertua makin tega soal perasaan adiknya. Ya. Melulu cerewet karena gerah. Mungkin karena, suhu panas telanjur berkepanjangan dimusim hujan Januari.
Malam ke empat ini kakak duduk rapat di dekat tiang penyangga tenda. Dari tadi matanya tak bisa diam. Berulang kali mengubah letak matanya. Pandangan tajam bak elang berburu anak ayam. Berulang kali menengok jam tangannya Dan kertas acara yang tak kunjung diletakkan.
Tak ada yang berubah dari kisah tiga tahun. Hanya tenda pleton yang berubah ganti merk. Kadang ukurannya persis kandang sapi bermuat sepuluh ekor sapi berjejer. Dengan tirai pleton sedikit malu-malu menutup isi tubuhnya. Kadang juga seperti gebyok kayu raksasa yang jadi aling-aling.
Tak ada yang berubah dari kisah tiga tahun. Pleton masih berisi drama Via Do Lorosa. Arogansi Yahudi terhadap umat Nasrani. Padahal, tak sedang mengundang artis. Tak diundang, yang datang malah kebanyakan Artis arogan. Sayang, aku masih kawakan untuk bersilat lidah dipanggung mereka. Apalagi bercerita lebih soal suasana tenda pleton. Sungguh ini memang karena umur. Tak ada apa-apa.
Kakak tertua jadi artis semalam. Barangkali lantaran kakak sudah berumur. Barangkali kakak tertua makin tega soal perasaan adiknya. Ya. Melulu cerewet karena gerah. Mungkin karena, suhu panas telanjur berkepanjangan dimusim hujan Januari.
Malam ke empat ini kakak duduk rapat di dekat tiang penyangga tenda. Dari tadi matanya tak bisa diam. Berulang kali mengubah letak matanya. Pandangan tajam bak elang berburu anak ayam. Berulang kali menengok jam tangannya Dan kertas acara yang tak kunjung diletakkan.
Jam satu dini hari. Aku serta kakak lebih dulu duduk, sedang mereka masih tergeletak. Aku hafal sekali. Sekarang jam satu. Setengah jam kemudian mereka baru bisa dikondisikan untuk memulai rapat.
Mungkin lantaran dari sisi seberang isi tenda terdengar suara gerusuhan tubuh. Lagi-lagi suara gerusuh tangan membangkitkan tubuh yang lelah. Mengusap mata yang menagtup karena kantuk berulang jadi alasan. Mungkin, lantaran sibuk mengambil teh di dapur. Dan bahkan, sebagian dari mereka memesan kopi. Hingga baunya menyebar hingga ke mana-mana, termasuk ketempat pantatku bertapak.
Meski tak sarapan, dengan baik hati, mereka selalu menawarkan untuk segelas teh untuk dibagi lima orang setiap gelasnya.Ya. Detik di tengah malam itu terasa lama. Decak pandang langkah kaki mereka bolak-balik masuk tenda, lalu kembali membuat aku malah mengantuk.
Menit berlalu, sebelum rapat di mulai, Gerutu kakak tertua mecengankan mereka.
“Bikin lama saja” Gerutu kakak tertua dengan nada dingin.
Meski tak sarapan, dengan baik hati, mereka selalu menawarkan untuk segelas teh untuk dibagi lima orang setiap gelasnya.Ya. Detik di tengah malam itu terasa lama. Decak pandang langkah kaki mereka bolak-balik masuk tenda, lalu kembali membuat aku malah mengantuk.
Menit berlalu, sebelum rapat di mulai, Gerutu kakak tertua mecengankan mereka.
“Bikin lama saja” Gerutu kakak tertua dengan nada dingin.
Bulan tak kelihatan malam itu. Suara kakak tertua nyatanya ampuh untuk memulai rapat. Setelah, gerutu reda. Dan rapat kembali melata. Kaki dan pantat mereka tergeletak, dengan tubuh tegak tak bergerak. Tapi kita sama-sama tahu bahwa mereka sedang tak bershalawat berjamaah. Terlalu dini untuk Shalat. Kita hanya tahu bahwa tubuhnya telah dilawan rasa kantuk untuk rapat evaluasi. Ya, dini hari ini kami berlagak aktivis militan. Saat tidurpun dijadikan rapat.
Malam tak lagi Indah. Kulihat pimpinan rapat sedang mengolah kalimat untuk memulai eval saat itu. Matanya sedikit lelah, tangannya jorok penuh debu tanah merah memegang lembaran kertas. Sangking ngantuknnya. Mungkin badannya masih di tenda, tapi arwahnya gentayangan ntah dimana. Menderitakah ia menjadi Koordinator?
“Selamat pagi, kawan-kawan. Rapat kita mulai.”
“Selamat pagi, kawan-kawan. Rapat kita mulai.”
Kalimat pimpinan rapat berlagak tangguh untuk memulai rapatnya. Sambil menatap lembaran kertas, kegiatan demi kegiatan mereka di gebiri. Bebebrapa dari mereka masih sadar. Beberapa masih mengkritik dan menyimpulkan solusi. Beberapa dari mereka masih setia menemani sang koor.
Menyimpulkan solusi dan mengharamkan kata maaf. Kakak tertua tahu memilih kata yang bijak agar terlihat bijaksana diantara mereka. Seperempat agenda evaluasi kegiatan. Kakak cerewet lagi. Bercuap-cuap ditengah kawanan manusia yang saat itu ngantuk luarbiasa. Kakak tertua semakin marah saja.
“Kamu koordinator, harus berani ngambil sikap,” cuap kakak tertua. Bibirnya seperti bunga yang kusuka, tapi ia mengeluarkan sengat ketika marah.
Pagi di ambang hari. Terang hampir melumuri langit. Hanya satu jam. Mereka di habisi ocehan kakak. Saling ngoceh, berganti untuk mengacung tangan. Seketika cuap kakak tadi. Kakak yang lainnya bercuap lagi.
Menyimpulkan solusi dan mengharamkan kata maaf. Kakak tertua tahu memilih kata yang bijak agar terlihat bijaksana diantara mereka. Seperempat agenda evaluasi kegiatan. Kakak cerewet lagi. Bercuap-cuap ditengah kawanan manusia yang saat itu ngantuk luarbiasa. Kakak tertua semakin marah saja.
“Kamu koordinator, harus berani ngambil sikap,” cuap kakak tertua. Bibirnya seperti bunga yang kusuka, tapi ia mengeluarkan sengat ketika marah.
Pagi di ambang hari. Terang hampir melumuri langit. Hanya satu jam. Mereka di habisi ocehan kakak. Saling ngoceh, berganti untuk mengacung tangan. Seketika cuap kakak tadi. Kakak yang lainnya bercuap lagi.
“Apa kalian tak punya otak, goblok” Aku mengumpulkan perasaanku untuk menghafalkan omongan si kakak yang satu ini. Barangkali kakak yang satu ini benar-benar marah.
Mereka serius menyimak. Mereka berhenti membaca, ngantuk, dan minum teh yang dibagi berlima tadi. Hanya diam dan dibisiki oleh suara genset. Sebagaian mereka kesal dalam ocehan kakak, sebagaian dari mereka merasa bersalah dalam nasihat keras kakak.
Kakak melanjutkan cuapnya sambil diiringi kesunyian malam desa. Sungguhseperti orasi terdengarnya.
“Mending pulang aja, sudah di beritahu yang baik, kalian tidak mau mengikuti ,” ujarnya keras dan tergugu.
Kakak berhenti bicara. Aku berpikir sebentar. Sambil menyulut rokok dan mengembuskan asapnya panjang-panjang. Memperhatikan sekitar. Barangkali kakak-kakak yang lainnya mau mengacung tangan.
Dan kakak yang lain. Mengacung tangan. Sepertinya ini kakak terkahir yang ingin bercuap. Ya. Aku tahu karena aku bagian dari kakak.
Mereka serius menyimak. Mereka berhenti membaca, ngantuk, dan minum teh yang dibagi berlima tadi. Hanya diam dan dibisiki oleh suara genset. Sebagaian mereka kesal dalam ocehan kakak, sebagaian dari mereka merasa bersalah dalam nasihat keras kakak.
Kakak melanjutkan cuapnya sambil diiringi kesunyian malam desa. Sungguhseperti orasi terdengarnya.
“Mending pulang aja, sudah di beritahu yang baik, kalian tidak mau mengikuti ,” ujarnya keras dan tergugu.
Kakak berhenti bicara. Aku berpikir sebentar. Sambil menyulut rokok dan mengembuskan asapnya panjang-panjang. Memperhatikan sekitar. Barangkali kakak-kakak yang lainnya mau mengacung tangan.
Dan kakak yang lain. Mengacung tangan. Sepertinya ini kakak terkahir yang ingin bercuap. Ya. Aku tahu karena aku bagian dari kakak.
“Kita WO”. kata kakak berambut gimbal itu.
“Jika seperti ini kita mending kita walkout dari acara ini”. Lanjutnya setelah diam beberapa detik.
Setalah menyatakan WO. Aku dan kakak keluar dari tenda. Bersiap pulang. Beberapa dari mereka mengikuti, berharap agar kami tak pulang. Namun lebih banyak yang bergeming diam, sibuk melanjutkan rapat, atau tidur.
Semoga dengan ini mereka berjalan lebih tenang, seolah keletihan sibuk bersombong-sombong. Aku dan kakak ini munafik. Tak ada kisah yang tak bersyarat. Tak dapat dibedakan lagi mana yang sesungguhnya tulus atau citra. Air mata telah hangus di desa. Berulang setiap tahunnya begitu. Ini benar-benar panggung. Suaranya lebih bergumpal dibandingkan tindakan. Desa ini palsu. Desa itu pun palsu. Penuh drama. Penuh artis. Penuh pura-pura.
Esok malam kakak sudah tak disini. Tak duduk di pinggiran tenda lagi dan pergi tanpa berkata apa-apa. Sungguh aku berharap gemanya tak tinggal di atap kain parasut tenda, di karpet berlusuh tanah bekas injakan kaki, di tirai-tirai tenda, dan terutama, di langit malam tanpa bulan. Saya pikir begitu. Kakak tertua pernah disini dan disana. Desa utara, selatan dan kini di timur gunung Slamet.
Tingkahnya tak berubah walau desa sudah silih berganti. Barangkali bukan hanya aku yang berdoa agar kakak cepat-cepat lulus. Barangkali juga bukan aku yang berdoa pada mereka. Ya. Doa singkat memang tak ampuh. Walau sedetik setelah mereka pergi dari desa itu, lahan itu kosong.
Jangan lupa memasang tanda. Agar kelak, kembali tak salah jalan.
Setalah menyatakan WO. Aku dan kakak keluar dari tenda. Bersiap pulang. Beberapa dari mereka mengikuti, berharap agar kami tak pulang. Namun lebih banyak yang bergeming diam, sibuk melanjutkan rapat, atau tidur.
Semoga dengan ini mereka berjalan lebih tenang, seolah keletihan sibuk bersombong-sombong. Aku dan kakak ini munafik. Tak ada kisah yang tak bersyarat. Tak dapat dibedakan lagi mana yang sesungguhnya tulus atau citra. Air mata telah hangus di desa. Berulang setiap tahunnya begitu. Ini benar-benar panggung. Suaranya lebih bergumpal dibandingkan tindakan. Desa ini palsu. Desa itu pun palsu. Penuh drama. Penuh artis. Penuh pura-pura.
Esok malam kakak sudah tak disini. Tak duduk di pinggiran tenda lagi dan pergi tanpa berkata apa-apa. Sungguh aku berharap gemanya tak tinggal di atap kain parasut tenda, di karpet berlusuh tanah bekas injakan kaki, di tirai-tirai tenda, dan terutama, di langit malam tanpa bulan. Saya pikir begitu. Kakak tertua pernah disini dan disana. Desa utara, selatan dan kini di timur gunung Slamet.
Tingkahnya tak berubah walau desa sudah silih berganti. Barangkali bukan hanya aku yang berdoa agar kakak cepat-cepat lulus. Barangkali juga bukan aku yang berdoa pada mereka. Ya. Doa singkat memang tak ampuh. Walau sedetik setelah mereka pergi dari desa itu, lahan itu kosong.
Jangan lupa memasang tanda. Agar kelak, kembali tak salah jalan.