Negara
hadir untuk membatasi rakyat dengan otoritas hukumnya, tetapi kaum
anarkis ada untuk
membebaskan rakyat untuk menciptakan kedamaian.
“Pesan
Sby Kepada Pimpinan Serikat Buruh, Demo Jangan Anarkis”, “Anarkisme Bukan Jiwa Pemuda Indonesia”,
“Anarkis
Bukan Produk Demokrasi, Tetapi Kelunturan Semangat Pancasila”, dsb. Kumpulan judul berita
diatas sangat marak pada pemberitaan di media massa. Coba sesekali kita
dengan kritis membaca koran, menonton berita televisi bahkan dalam tanyangan
gosip infotaiment, begitu pula bila kita menonton film – film, biasanya produksi film barat. Kita seakan berada
dalam sebuah dunia yang demikian brutal, dimana anarkisme atau anarkis menjadi sebuah
kata yang bemakna kekerasan, kebrutalan, penghancuran atau tindakan protes
dengan kemarahan yang merusak.
Coba
kita lihat dengan kritis, berita–berita tentang aksi protes akan selalu dengan tayangan para
pemerotes yang bergandengan tangan mendorong pagar atau barikade polisi dan bahkan polisi yang memukuli
mereka dengan kayu, melontarkan gas air mata atau kadang tembakan peluru karet.
Media massa atau apapun itu sering kali mengekspose
tindakan
anarkisme dengan tindakan
kekerasan, bahkan keburukan–keburukan berpikir dan keburukan kebebasan tanpa
tanggung jawab, yang dengan lucunya bahwa kebenaran filosofi anarki itu sendiri
bertentangan dengan filosofi yang media tayangkan. Bisa dikatakan bahwa
media saat ini masih lemah akan sikap
jurnalistiknya.
Ditambah
lagi multitafsir
yang dikonsumsi
pembaca ataupun penonton dalam hal ini adalah masyrakat, telah memahami istilah anarkis kedalam konotasi negatif. Inilah
yang kemudian melanggengkan anarkisme sebagai tindakan
kekerasan. Akibat dari kesalahpahaman
inilah pada akhirnya muncul anjuran untuk waspada
terhadap segala bentuk tindakan anarkis, yang saat ini telah menjadi
hampir kesepakatan dalam masyrakat.
Singkat kata, bahwa masyrakat sudah memandang anarkisme sebagai sesuatau yang perlu
di amputasi atau dilenyapkan untuk
selamanya. Suatu
kewajaran memang jika
sebuah paham lama-kelamaan sudah merembes masuk ke dalam masyrakat dan
terbelokkan artinya.
Lantas
mengapa Anarkisme menjadi paham yang sangat ditakuti sehingga perlu dibrantas
habis. Atau
bisa jadi, karena kita tidak paham seutuhnya tentang anarkisme dan apa sebenarnya yang
menjadi cita-citanya.
Tapi apakah anarkisme
itu sebenarnya?
Anarkisme atau Anarki. Sebuah kata
yang kerap kali didengar dan diucapkan, tetapi selalu dalam konotasi makna yang
negatif. Berbagai tindakan kekerasan, kebrutalan fisik, kekacauan, selalu dikonotasikan
sebagai tindakan Anarkis. Makna filosofis yang terdapat dalam kata Anarkisme sudah hilang sama sekali. Perlu kita tahu bahwa, anarkis
adalah tindakan
yang didasarkan ketidakpercayaan atas segala bentuk negara dan kekuasaannya, dalam hal ini kita sebut dengan Otoritas negara. Kaum anarkis mengamini bahwa kekuasaan negaralah yang
menumbuhsuburkan penindasan terhadap rakyat, maka negara harus dihilangkan dan
dihancurkan. Kebebasan tanpa otoritas
yang memang tujuan akhir dari kaum anarkis nyatanya makin dipersulit saja.
Coba
kita pahami kutipan tulisan Alexander Brekman ini,
“Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau
kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara
yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau
kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua.”
Kutipan tulisan diatas sudah seharusnya menyentil perspektif
kita, bahwa anarkis bukan ketidakteraturan atau kekacauan. Memang
seperti itulah makna anarkisme,
dimana semua orang tidak berperang
daan selalu bekerja sama sesuai dengan kemampuannya
tanpa adanya otoritas yang mengatur-atur, apalagi memanfaatkan hasil kerja
orang lain untuk kepentingannya sendiri, keadaan anakrisme inilah keadaan dari sisi alamiah manusia.
Klarifikasi tindakan kekerasan,
kebrutalan fisik dan kekacauan
yang dimaknai Anarkis
Tidak
ada negara
berarti itulah anarkisme, yang berarti
Negara harus dihapuskan. Tapi
kesalahpahaman yang telah menjadi
kesepakatan didalam masyarakat adalah istilah anarkisme telah menyebar maknanya
kedalam bentuk tindakan kekerasan, kebrutalan
fisik dan kekacauan. Kesalahpahaman filosofis anarkisme pun ternyata telah
dilanggengkan oleh media-media yang ada di Indonesia. Media, terutama televisi
dan surat kabar acap kali menayangkan berita berita yang menggembar-gemborkan
anarkis sebagai tindakan rusuh.
Coba kita lihat yang terjadi di
Indonesia, ketika beberapa orang
sedang berbincang-bincang
tentang anarkis, cenderung mereka memahami anarkis itu adalah tindak kekerasan. Makna yang
selalu keluar pun dari masyrakat pastilah makna yang cenderung kepada tindakan
yang negatif.
Pernahkan kita mencoba untuk melakukan demonstrasi? Memahaminya
dengan turun kejalan dan menuntut perubahan yang ada? Dan stigma apa yang kita
terima ? Pastilah stigma yang dilayangkan kepada kita adalah
pelarangan-pelarangan untuk tidak melakukannya. Hal ini yang berat dan perlu
dilakukan, manusia haruslah keluar dari zona aman. Zona yang penuh dengan
konflik yang semestinya kitalah yang memahaminya, mengkritisinya dan melakukan
perubahan. Zona yang memang penuh dengan dilema-dilema yang harus dipilihnya.
Antara diam atau terus bergerak, apatis atau aktivis dan anarkis atau tidak ada
perubahan sama sekali.
Contoh lain, demonstran yang sedang
berdemonstrasi dan turun kejalan, melakukan
tindakan-tindakan yang menganggu aktivitas rakyat, kerumunan massa yang saling mendorong-dorong,
mengganggu aktivitas jalan, dan membuat pengrusakan seperti membakar ban,
mencoret-coret dinding. Dengan
tuntutan protes inilah yang selalu dilihat masyrakat
sebagai bentuk tindakan anarkis. Pengrusakan,
membakar ban, mencoret-coret dinding dan menggaggu aktivitas rakyat sama sekali
bukan tindak kriminal yang melanggar tata hukum negara. Kita pun sering melihat
penyangan aksi demonstran selalu berakhir rusuh dan anarkis, dan kitapun sering
mengkonotasikannya kedalam bentuk tindakan negatif. Media seringkali salah
kaprah dalam menayangkan hal yang seperti ini. Menyesakkan ketika perjuangan demonstran yang rela turun kejalan,
menuntut perubahan kearah lebih baik ini dianggap sebagai tindakan rusuh.
Ini hanyalah cara, cara yang sudah menjadi paham yang terideologi oleh
kaum-kaum anarkis. Cara yang memang bertujuan untuk membebaskan setiap hak dan
nurani manusia. Cara yang berbasis pada pemberontakan kepada otoritas Negara.
Bandingkan dengan tindakan anarkis yang sering masyrakat
artikan
dengan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat negara. Menguras uang rakyat, menyelewengkan dana pembangunan,
kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat, penggusuran PKL, bahkan
jika berbicara lebih luas, kita bisa memaknai bahwa korporasi asing sudah menghisap
tenaga rakyat dan SDA. Semuanya merupakan tindakan yang tidak bermoral dan
tindakan yang tidak memihak pada kebebasan rakyat. Hal ini tidak fair, ketika kita memahami anarkis tetapi tidak memahami
keburukan –keburukan yang negara lakukan. Negara ada untuk membatasi masyrakat
dengan otoritasnya tetapi kaum anarkis ada untuk menciptakan kebebasan
yang berujung kedamaian.
Terbayangkah jika kaum anarkis masih saja bekonotasi
negatif dan mengahantui pikiran kita?. Bisa jadi mereka yang bertindak anarkis
selalu disalahkan, bahkan akan terus dijadikan sesuatu yang membahayakan bagi
masyarakat. Hal inilah yang perlu kita diklarifikasi dari
sekarang, jika stigma masyrakat dalam memandang anarkisme selalu berporos pada
tindakan-tindkan yang negatif pastilah pemaknaan negatif selalu langgeng, yang
berarti kita sedang memahami
keburukan kaum anarkis
ketika sedang berdemonstrasi, memahami
kekacauan kaum anarkis ketika mereka sedang turun
kejalan dan berterus terang bahwa anarkis adalah tindakan salah.
Oleh karena itu, atas alasan itu semua dan kita hari ini seharusnya perlu
merenungkan secara kritis bahwa anarkisme adalah kebalikan dari ketidakteraturan
dan kekacauan.