Menyoalkan Jakarta, Menyialkan Teori Pembangunannya

0 Komentar

Dari sekian  ragam tanggapan yang muncul sesuai dengan ideologi pembangunan yang berbeda-beda. Pertama hal yang saya lakukan adalah menunaikan pembacaan runtuhnya teori pembangungan dan Globalisasi - Mansour Fakih. Dalam buku ini akan diperlihatkan konsistensi sikap dan pemikirannya yang sangat anti neoliberalisme. Dalam buku ini, juga lebih banyak menyorot kegagalan teori dominan sejak tahun 1970an, yakni 'teori pembangunan', dan turunannya saat ini yang dikenal dengan istilah populer sebagai 'globalisasi'. Buku ini sekaligus memperlihatkan sejarah perkembangan pemikiran dan teori pembangunan saling beririsan dengan ketimpangan keadilan kelas.

Namun, Dari berbagai ideologi pembangungan itu, saya lebih merujuk kepada kemandirian kolektif sebagai ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun ini lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan. Lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang tidak bertujuan pada penciptaan rejim pertumbuhan ekonomi, tidak berdasarkan pada alokasi otoritatif, atau tidak kepada tuntutan ekonomi meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, dan lain-lain. Melainkan, menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal, pranata sosial dan kebutuhan dasar mmanusia.

 Dengan kata lain,  pengendalian atas anggaran, stabilitas harga, sistem moneter dan segala tetekbengek yang bersinggungan dengan rejim pertumbuhan ekonomi, mengakibatkan warga secara tak langsung terilusi bahwa pemerintahan serta aparat kekuasaan disekitarnya telah menunaikan tugas yang transparan sekaligus akuntabel terhadap rakyatnya.

 Hal ini penting sebagai edukasi dini bagi rakyat Jakarta. Rakyat dituntut segera membangun kekuatan politik independen ketimbang kekuatan ekonomi yang terhegemoni, menurut saya juga pembangunqn Jakarta tidak kalah bermasalahnya. Pemprov DKI mengatakan bahwa pengadaan barang haruslah transparan, namun ia tidak pernah mengatakan hal yang sama perihal pengadaan lahan untuk ruang hidup di Jakarta. Lahan di Jakarta masihlah menjadi penguasaan orang-orang berduit. Tidak heran jika masih banyak orang-orang miskin Jakarta yang memiliki hak hidup di kota tetapi harus mengalami kebijakan penggusuran. Jika memang pemerintahan yang hendak berlaku di Jakarta adalah pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap masyarakatnya (akuntabel), bukankah kebijakan seperti penggusuran atas nama pembangunan terhadap rakyat miskin, yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jakarta, dapat dihindari?

Diatas saya menyarankan agar masyarakat membangun kekuatan politik sendiri. Rakyat tidak bisa melulu hanya menyaksikan kebijakan demi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mereka tidak terlibat dalam perencanaan, pembuatan, dan pengawasan kebijakan. Rakyat selalu diminta untuk mendengar dan mentaati seluruh produk kebijakan, tak terkecuali kebijakan yang merugikan mereka. Ambil contoh penggusuran, santer terdengar bahwa kebijakan tersebut merupakan terobosan positif dikarenakan warga dipindahkan ketempat yang lebih layak, namun saya melihatnya bahwa media kecolongan dalam penggiringan opini publik, media tidak melihat bahwa sesungguhnya ada pranata sosial yang rusak atau sengaja di rusak oleh kebijakan tersebut.

Alasan ini kemudian tidak semata tidak beralasakan. Keberanian penulis menyimpulkan bahwa mayoritas kebijakan yang ada atau sudah terlaksana hanya berfokuskan kepada keberhasilqn ruang spasial saja. Padahal ruang spasial bukan salah satu langkah produktif yang kemudian melulu di jadikan kebijakan demokratis. Saya mengambil contoh kompas.com tertanggal 18 Februari yang memberitakan  penggusuran oleh Pemprov DKI yaitu Ahok yang menegaskan hal Kalijodo bukan soal prostitusinya. Kalau Kalijodo adalah menyoal Ruang Tata Hijau. Dalam kasus ini pun dijelaskan bahwa saat ini ketersediaan RTH di Jakarta hanya 9,98 persen dari total luas wilayah. Hal ini merujuk kepada syarat PBB yang menyatakan bahwa sebuah kota minimal harus punya 30 persen RTH dari total luas wilayah. Contoh kasus ini kemudian menjadi contoh bahwa kebijakan hanya menyoal kepada ruang spasial saja, statistik peta, persyaratan administratif namun tidak melihat bahwa ada sejarah prananta sosial yang sudah terbangun sejak lama yang kemudian dirusak oleh kebijakan tersebut.

Inilah kemudian yang disebut Levebrvre sebagai konflik ruang. Bagaiman ruang produktif yang dibentuk oleh tindakan sosial (social action), baik secara individual maupun secara kolektif marak menjadi persoapan kebijakan. Padahal tindakan sosiallah yang memberi “makna” pada bagaimana suatu ruang spasial dikonsepsikan oleh mereka yang mengisi dan menghidupkan ruang tersebut. Produksi ruang sosial berkenaan dengan bagaimana praktik spasial diwujudkan melalui persepsi atas lingkungan (environment) yang dibangun melalui jaringan (networks) yang mengaitkan aktivitas-aktivitas sosial seperti pekerjaan, kehidupan pribadi (private life), dan waktu luang (leisure). Analisis inilah yang tidak semata harus di hilangkan dalam poin pengambilan keputuean kebijakan daerah.

Dan pengambilan kebijakan semestinya sebagai relapse yang bersifat dialektis antara ruang (spasial dan sosial) yang hidup, ruang yang dipersepsikan, dan ruang yang dikonsepsikan, atau apa yang disebut sebagai “tiga rangkaian konseptual atas ruang” (a conceptual triad of social space production) yang di sebutkan oleh Levebrvre,adalah pemahaman yang komprehensif tentang cara kerja tiga rangkaian konseptual atas produksi ruang sosial itu yang juga menjadi bagian penting dari reproduksi kebijakan yang bersifat ideologis bagi perkembangan suatu kota, khususnya karena hegemoni teori pembangungan tentang tata ruang kota semata-mata menjadikan kota sebagai objek komoditas kapitalisme belaka.

Inilah dampak bagaimana rakyat tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan publik. Sekali lagi rakyat harus terlibat dalam pembuatan kebijakan, saya menjamin bahwa kekuatan hukum pun telah menjamin keterlibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 pasal 5 huruf q, yaitu asas pembentukan peraturan dan perudang-undangan yang baik yang keterbukaan. Menurut Nurman dan Muluk (2010:11), asas keterbukaan dapat diartikan dalam pembentukan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat terbuka dan transparan. Dengan demikian rakyat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan perundang-undangan.

Mungkin terdapat argumen moral di sini. Namun harus dipahami bahwa apa yang terjadi serta ilusi yang mengiringi Ilusi kita terhadap Pemerintah adalah manifestasi dari pertarungan ekonomi-politik kekuatan yang ada. Selama publik belum membangun agenda politiknya sendiri, yang otonom dari kepentingan pemerintah maupun kepentingan kekuatan politik lama yang bercokol di Jakarta, maka dapat dipastikan ia akan selalu mudah terseret-seret dalam atraksi sirkus dukung-mendukung yang sudah terjadi selama ini.

Penulis bukan menulis tanpa dasar tanpa melihat realitas yang ada. Sekarang ini, dengan menganut sistem demokrasi, Kontrak (baca:pemilu) yang dilakukan oleh Masyarakat dan Negara (baca:pemimpin) ini, sangat tergantung oleh pemimpin yang dimandatkan menjadi pemimpin masyarakat, yang sudah pasti pola kepemimpinannya ini akan mempengaruhi hubungan Negara dan warga. Namun, control masyarakat juga berperan penting dalam hal ini. Contoh keberhasilan  control masyarakat sudah terjadi di Negara dunia ketiga tepatnya Amerika Latin, ambil contoh adalah Kuba. Negara ini memakai demokrasi yang maknanya sebenarnya: kekuasaan rakyat. Pertama, metodenya adalah dengan terus berusaha mendekatkan proses pengambilan keputusan menyangkut hajat hidup di tangan rakyat. Selama ini demokrasi yang berlaku adalah demokrasi yang dikuasai dan dijalankan oleh elite, dimana rakyat hanya menjadi peserta penggembira setiap lima tahun sekali. Kedua, bahwa kebijakan kebijakan di Kuba berlangsung secara aktif, reguler, rahasia, partisipasi rakyat yang penuh dan nyata.

Tidak seperti di Indonesia, misalnya, dimana para kandidat diseleksi dan ditetapkan oleh partai, di Kuba, kandidat anggota dewan di seleksi dan ditetapkan oleh rakyat. Ketiga, di Kuba para anggota dewan bekerja secara sukarela, mereka tidak dibayar atas kerja-kerja mereka sebagai wakil rakyat. Mereka memperoleh pendapatan dari tempat mereka bekerja sehari-hari. Jadi jika semula seorang anggota dewan adalah pegawai bank, maka ketika menjadi anggota dewan ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai bank dan menerima gaji seperti biasanya. Hal ini menyebabkan posisi atau jabatan sebagai anggota dewan, bukan sebuah keistimewaan. Posisi itu adalah sebuah pengabdian, bukan karier politik.

Terlepas dari hal di atas, ragam hubungan antara Negara dan warga Negara, bisa bersifat demokratis maupun otoritarian. Sementara di Indonesia sendiri, hubungan antara Negara dan warga masih terlihat agak otoritarian. Karena kurangnya melibatkan warga masyarakat (rakyat) dalam hal-hal kenegaraan seperti menentukan kebijakan-kebijakan publik. Tidak melibatkan masyarakat dalam penentuan kebijakan inilah, yang lambat laun mengikis asas demokrasi di Negara kita.

Yoshua Abib Mula Sinurat
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed

Menyoalkan Jakarta, Menyialkan Teori Pembangunannya

0 Komentar

Dari sekian  ragam tanggapan yang muncul sesuai dengan ideologi pembangunan yang berbeda-beda. Pertama hal yang saya lakukan adalah menunaikan pembacaan runtuhnya teori pembangungan dan Globalisasi - Mansour Fakih. Dalam buku ini akan diperlihatkan konsistensi sikap dan pemikirannya yang sangat anti neoliberalisme. Dalam buku ini, juga lebih banyak menyorot kegagalan teori dominan sejak tahun 1970an, yakni 'teori pembangunan', dan turunannya saat ini yang dikenal dengan istilah populer sebagai 'globalisasi'. Buku ini sekaligus memperlihatkan sejarah perkembangan pemikiran dan teori pembangunan saling beririsan dengan ketimpangan keadilan kelas.

Namun, Dari berbagai ideologi pembangungan itu, saya lebih merujuk kepada kemandirian kolektif sebagai ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun ini lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan. Lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang tidak bertujuan pada penciptaan rejim pertumbuhan ekonomi, tidak berdasarkan pada alokasi otoritatif, atau tidak kepada tuntutan ekonomi meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, dan lain-lain. Melainkan, menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal, pranata sosial dan kebutuhan dasar mmanusia.

 Dengan kata lain,  pengendalian atas anggaran, stabilitas harga, sistem moneter dan segala tetekbengek yang bersinggungan dengan rejim pertumbuhan ekonomi, mengakibatkan warga secara tak langsung terilusi bahwa pemerintahan serta aparat kekuasaan disekitarnya telah menunaikan tugas yang transparan sekaligus akuntabel terhadap rakyatnya.

 Hal ini penting sebagai edukasi dini bagi rakyat Jakarta. Rakyat dituntut segera membangun kekuatan politik independen ketimbang kekuatan ekonomi yang terhegemoni, menurut saya juga pembangunqn Jakarta tidak kalah bermasalahnya. Pemprov DKI mengatakan bahwa pengadaan barang haruslah transparan, namun ia tidak pernah mengatakan hal yang sama perihal pengadaan lahan untuk ruang hidup di Jakarta. Lahan di Jakarta masihlah menjadi penguasaan orang-orang berduit. Tidak heran jika masih banyak orang-orang miskin Jakarta yang memiliki hak hidup di kota tetapi harus mengalami kebijakan penggusuran. Jika memang pemerintahan yang hendak berlaku di Jakarta adalah pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap masyarakatnya (akuntabel), bukankah kebijakan seperti penggusuran atas nama pembangunan terhadap rakyat miskin, yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jakarta, dapat dihindari?

Diatas saya menyarankan agar masyarakat membangun kekuatan politik sendiri. Rakyat tidak bisa melulu hanya menyaksikan kebijakan demi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mereka tidak terlibat dalam perencanaan, pembuatan, dan pengawasan kebijakan. Rakyat selalu diminta untuk mendengar dan mentaati seluruh produk kebijakan, tak terkecuali kebijakan yang merugikan mereka. Ambil contoh penggusuran, santer terdengar bahwa kebijakan tersebut merupakan terobosan positif dikarenakan warga dipindahkan ketempat yang lebih layak, namun saya melihatnya bahwa media kecolongan dalam penggiringan opini publik, media tidak melihat bahwa sesungguhnya ada pranata sosial yang rusak atau sengaja di rusak oleh kebijakan tersebut.

Alasan ini kemudian tidak semata tidak beralasakan. Keberanian penulis menyimpulkan bahwa mayoritas kebijakan yang ada atau sudah terlaksana hanya berfokuskan kepada keberhasilqn ruang spasial saja. Padahal ruang spasial bukan salah satu langkah produktif yang kemudian melulu di jadikan kebijakan demokratis. Saya mengambil contoh kompas.com tertanggal 18 Februari yang memberitakan  penggusuran oleh Pemprov DKI yaitu Ahok yang menegaskan hal Kalijodo bukan soal prostitusinya. Kalau Kalijodo adalah menyoal Ruang Tata Hijau. Dalam kasus ini pun dijelaskan bahwa saat ini ketersediaan RTH di Jakarta hanya 9,98 persen dari total luas wilayah. Hal ini merujuk kepada syarat PBB yang menyatakan bahwa sebuah kota minimal harus punya 30 persen RTH dari total luas wilayah. Contoh kasus ini kemudian menjadi contoh bahwa kebijakan hanya menyoal kepada ruang spasial saja, statistik peta, persyaratan administratif namun tidak melihat bahwa ada sejarah prananta sosial yang sudah terbangun sejak lama yang kemudian dirusak oleh kebijakan tersebut.

Inilah kemudian yang disebut Levebrvre sebagai konflik ruang. Bagaiman ruang produktif yang dibentuk oleh tindakan sosial (social action), baik secara individual maupun secara kolektif marak menjadi persoapan kebijakan. Padahal tindakan sosiallah yang memberi “makna” pada bagaimana suatu ruang spasial dikonsepsikan oleh mereka yang mengisi dan menghidupkan ruang tersebut. Produksi ruang sosial berkenaan dengan bagaimana praktik spasial diwujudkan melalui persepsi atas lingkungan (environment) yang dibangun melalui jaringan (networks) yang mengaitkan aktivitas-aktivitas sosial seperti pekerjaan, kehidupan pribadi (private life), dan waktu luang (leisure). Analisis inilah yang tidak semata harus di hilangkan dalam poin pengambilan keputuean kebijakan daerah.

Dan pengambilan kebijakan semestinya sebagai relapse yang bersifat dialektis antara ruang (spasial dan sosial) yang hidup, ruang yang dipersepsikan, dan ruang yang dikonsepsikan, atau apa yang disebut sebagai “tiga rangkaian konseptual atas ruang” (a conceptual triad of social space production) yang di sebutkan oleh Levebrvre,adalah pemahaman yang komprehensif tentang cara kerja tiga rangkaian konseptual atas produksi ruang sosial itu yang juga menjadi bagian penting dari reproduksi kebijakan yang bersifat ideologis bagi perkembangan suatu kota, khususnya karena hegemoni teori pembangungan tentang tata ruang kota semata-mata menjadikan kota sebagai objek komoditas kapitalisme belaka.

Inilah dampak bagaimana rakyat tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan publik. Sekali lagi rakyat harus terlibat dalam pembuatan kebijakan, saya menjamin bahwa kekuatan hukum pun telah menjamin keterlibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 pasal 5 huruf q, yaitu asas pembentukan peraturan dan perudang-undangan yang baik yang keterbukaan. Menurut Nurman dan Muluk (2010:11), asas keterbukaan dapat diartikan dalam pembentukan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat terbuka dan transparan. Dengan demikian rakyat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan perundang-undangan.

Mungkin terdapat argumen moral di sini. Namun harus dipahami bahwa apa yang terjadi serta ilusi yang mengiringi Ilusi kita terhadap Pemerintah adalah manifestasi dari pertarungan ekonomi-politik kekuatan yang ada. Selama publik belum membangun agenda politiknya sendiri, yang otonom dari kepentingan pemerintah maupun kepentingan kekuatan politik lama yang bercokol di Jakarta, maka dapat dipastikan ia akan selalu mudah terseret-seret dalam atraksi sirkus dukung-mendukung yang sudah terjadi selama ini.

Penulis bukan menulis tanpa dasar tanpa melihat realitas yang ada. Sekarang ini, dengan menganut sistem demokrasi, Kontrak (baca:pemilu) yang dilakukan oleh Masyarakat dan Negara (baca:pemimpin) ini, sangat tergantung oleh pemimpin yang dimandatkan menjadi pemimpin masyarakat, yang sudah pasti pola kepemimpinannya ini akan mempengaruhi hubungan Negara dan warga. Namun, control masyarakat juga berperan penting dalam hal ini. Contoh keberhasilan  control masyarakat sudah terjadi di Negara dunia ketiga tepatnya Amerika Latin, ambil contoh adalah Kuba. Negara ini memakai demokrasi yang maknanya sebenarnya: kekuasaan rakyat. Pertama, metodenya adalah dengan terus berusaha mendekatkan proses pengambilan keputusan menyangkut hajat hidup di tangan rakyat. Selama ini demokrasi yang berlaku adalah demokrasi yang dikuasai dan dijalankan oleh elite, dimana rakyat hanya menjadi peserta penggembira setiap lima tahun sekali. Kedua, bahwa kebijakan kebijakan di Kuba berlangsung secara aktif, reguler, rahasia, partisipasi rakyat yang penuh dan nyata.

Tidak seperti di Indonesia, misalnya, dimana para kandidat diseleksi dan ditetapkan oleh partai, di Kuba, kandidat anggota dewan di seleksi dan ditetapkan oleh rakyat. Ketiga, di Kuba para anggota dewan bekerja secara sukarela, mereka tidak dibayar atas kerja-kerja mereka sebagai wakil rakyat. Mereka memperoleh pendapatan dari tempat mereka bekerja sehari-hari. Jadi jika semula seorang anggota dewan adalah pegawai bank, maka ketika menjadi anggota dewan ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai bank dan menerima gaji seperti biasanya. Hal ini menyebabkan posisi atau jabatan sebagai anggota dewan, bukan sebuah keistimewaan. Posisi itu adalah sebuah pengabdian, bukan karier politik.

Terlepas dari hal di atas, ragam hubungan antara Negara dan warga Negara, bisa bersifat demokratis maupun otoritarian. Sementara di Indonesia sendiri, hubungan antara Negara dan warga masih terlihat agak otoritarian. Karena kurangnya melibatkan warga masyarakat (rakyat) dalam hal-hal kenegaraan seperti menentukan kebijakan-kebijakan publik. Tidak melibatkan masyarakat dalam penentuan kebijakan inilah, yang lambat laun mengikis asas demokrasi di Negara kita.

Yoshua Abib Mula Sinurat
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed

SIAPA LAWAN, SIAPA KAWAN ?

0 Komentar
“Stop Violence against women”, “Stop Brutalitas Polisi” begitu kira-kira jargon para belia muda di pertemanan jejaring dunia maya saya. Jargon apik dengan sentuhan diksi renyah serta terpasang photo profil di sisi sebelah jargon nyatanya menambah suasana “kepengin ikut-ikutan”. Demikianlah sosial media, seiring waktu semakin tak karuan saja. Saya menyebutnya inilah persoalan bagi gerakan kebudayaan pascakolonial. Embel-embel meng-kampanye-kan dukungan terhadap ketidakadilan nyatanya kemudian tersudut kabur dengan sejumlah pertanyaan yang saya lontarkan : siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran yang katanya mahluk tuhan yang paling intelektual dalam perubahan sosial? Langkah praxis apa yang sudah kita lakukan ? Sekian pertanyaan tersebut kemudian dijawab dengan bertele-tele., sebagian pula mengaku hanya ikut-ikutan dengan alasan “perintah dari atasan” “Saudara tetap saudara harus dibela jika terintimidasi” , bahkan ada yang tak menjawab namun memberi 1000 wejangan teduh menyumpal telinga. 

Berangkat dari hal itu kemudian melatarbelakangi tulisan ini ada. Berangkat dari ketidak-sadaran kita terhadap siapa lawan dan siapa kawan yang harus di berdayakan.  Untuk kedepan yang lebih cerdas.

Demi terwujudnya kecerdasan kita bersama , hal pertama yang saya rekomendasikan adalah Gayatri. Siapa Gayatri ?  Gayatri dikenal sebagai ahli teori-teori post kolonial. Lebih khusus sebagai ahli kajian subaltern (subaltern studies), setelah esai panjangnya "Can Subaltern Speak" pada tahun 1983 terbit dan menjadi karya monumental, bahkan diperingati 20 tahun penerbitannya oleh para filsuf dunia di Cork, Irlandia.Di tahun 1985, wanita dengan nama lengkap Gayatri Chakravorty Spivak, mempublikasikan essainya “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Pengrobanan Janda). Latar belakang essainya bermula ketika Gayatri sempat melakukan studinya tentang pengrorbanan diri janda di India dalam diksi India disebut sati, tulisan itulah yang di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial. Essainya berbicara tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial. Gayatri mempertanyakan kembali peran intelektual pascakolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas, suara kaum subaltern.

GAYATRI : CAN SUBLATERN SPEAK ?

Gagasan subaltern  sebenarnya bermula dari seorang teoritis bernama Antonio Gramsci yang kemudian menyebut Sublatern tersebut adalah “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, perempuan yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan politik, budaya dan sebagainya, atau  kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” Inilah yang disebut Gramsci sebagai kelompok atau individu yang ter-subaltern. Dalam catatannya tentang sejarah Italia yang terbit 1934 (“Notes on Italian History”), namun Gayatri menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang sejarah kelas-kelas subaltern. Lebih lanjut Gayatri mengatakan bahwa sejarah kelas-kelas subaltern juga tak kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan. Gayatri menggkritisi bahwa tulisan Gramsci yang berjudul “Notes on Italian History” lebih diakui sebagai “sejarah yang resmi”, karena kelas-kelas subaltern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. Hanya kepada sebuah “kemenangan permanen” (yaitu revolusi kelas) yang bisa memotong pola subordinasi tersebut.

DARI NOTES ON ITALIAN HISTORY,
SAMPAI ON SOME ASPECTS OF THE HISTORIOGRAPHY OF COLONIAL INDIA

Kemudian singkat cerita muncul sejarawan India bernama a Ranajit Guha. Guhan adalah sejarawan India yang tergabung dalam Subaltern Studies Group. Guhan kemudian mengadopsi gagasan Gramsci itu untuk mendorong penulisan kembali sejarah India. Dalam “On Some Aspects of the Historiography of Colonial India” (1982), Guha mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan desa, yaitu rakyat. Secara ringkas, yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan elit”. Dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).

Adopsi Guha atas subaltern-nya Gramsci ini menarik. Karena ia memberikan kerangka yang lebih jernih buat menganalisis soal “siapa kawan, siapa lawan” dan memaksa kita buat memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Guha juga membeerikan sedikit serpihan api untuk memanaskan ulang gagasan-gagasan kita dalam hal mengkampanyekan/mendukung subjek yang ter-sublatern-kan. Gagasan Guha ini pula setidaknya mampu untuk menggeser dikotomi-dikotomi kita tentang “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dan sebagainya, menjadi “elite-subaltern”. Agar kelak perhatian kita terhadap penindasan yang selama ini hanya terpusat pada “aktor-aktor luar”, kini mesti ditambah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial.

Bagi kita, saat ini, ilustrasinya bisa menjadi kita yakni perempuan bisa menindas perempuan yang ter-subordinat-kan lainnya, mahasiswa bisa menindas mahasiswa lainnya pula, gerakan yang mengaku pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang gerakan yang fasis lainnya, mereka yang mengaku pembela kelompok-kelompok marjinal bisa pula justru menjadi penindas kelompok-kelompok marjinal itu, dan seterusnya dan seterusnya.

Gayatri dalam tulisannya tentang sati yang telah disebut di atas, mempertegas gagasan Guha, sekaligus memberi peringatan kepada gerakan intelektual pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok subaltern. Gayatri hingga sampai pada kesimpulannya menyebutkan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka (mereka yang subaltern) untuk menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba”.

Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara dan karena mereka memang tidak bersuara. Oleh sebab itu kita, yang katanya intelektual semestinya datang bukan untuk mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Gayatri, kita  (dibaca : intelektual) juga seharusnya menyertakan sikap yang “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keberdayaan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.

Beberapa persoalan bagi gerakan kita ketika pascakolonial kini, adalah: siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual sosial? Lalu langkah praxis apa yang sudah kita lakukan?

Tentang Tak Ada

0 Komentar
Mula-mulanya ketika kenangan ini satu persatu di guyar oleh gerimis, pucuk pohon basah menghablur kedetailan kronologinya. Ketika musim penghujan, kabut muncul di sana sini, tipis dan tebal, bergantian. Ada yang bisa ditembus, ada yang tak bisa ditembus. Tak seekor burung pun berkelebat. Agak jauh di selatan masih terdengar lalu lalang kendaraan, setelah itu sayup. Lalu di atas arah barat sana masih membentang separo tubuh gunung, separonya lagi berselimut kabut bulan februari. Dan, dari salah satu lembah menuju puncak, semilir seperti angin, lakon jawa ngapak terdengar seperti berbisik, kalau tak salah Tresno Sudro.  “Awan binge ra biso lali, gansah eling esemmu, nganti kaoan aku ra ngerti, biso nyanding sliramu”. Aku hafal betul irama lagu itu, fasih kudengar dari seorang muda desa ketika kegiatan sosial tempo kuliah dulu. Ku hafal betul ”Ya, kenapa tak hafal. Hujan, teduh, ditambah cerita ngawur percintaan seorang pemuda desa memaksaku untuk menghafal filosofi lagunya“. Sepertinya, lagu ini cocok buatku.
“Itulah sebab mulanya”

Sebentar, tunggu. Sebelumnya Izinkan ingatan ini menjadi pihak ketiga teruntuk cerita mereka. Cerita tentang tak ada. Tentang kenangan waktu silam, tentang manisnya kenangan mula mula, tentang kecutnya pertanyaan “bagaiaman pada akhirnya”.  Jujur, aku ingin sekali menjadi pihak pertama dalam cerita ini. Pelaku cerita. Tapi sepertinya lebih baik aku main aman saja. Mari kuceritakan tentang seorang bernama Puntadewa.

Kota pensiun. Lampu jalanan sudah menyala. Ramah menyambut geremis yang turun tiba-tiba. Mata Puntadewa menatap lekat lampu yang terdekat. Sinarnya merah berpendar oleh tirai hujan. Sebenarnya ia takut bernostalgia jika malam tiba, tapi berkat pemandangan itu ia mendongak juga mencari bulan. Tidak ada. Entah awan, pohon, atau terang kota yang menghalanginya. Ntah mengapa di musim penghujan, penampakan bulan sulit menganga menunjukkan diri.
Seberang real-estate mewah, agak ke utara kota, di ceruk sunyi balai taman, Puntadewa termangu menunggu sepi hiruk pikuk pengunjung taman. Sepi, hingga butir gerimis berbedah ke tanah. Cukup lama. Namun tak ada isyarat tanda taman akan segera sepi. Malah, beberapa orang baru saja berdatangan. Puntadewa tetap menunggu, sambil lalu mengelih menghabiskan detik. Ada yang mengobrol berdua atau bertiga. Ada yang kelihatan bicara sendiri dengan telepon genggamnya. Tapi lebih banyak yang seperti Puntadewa. Diam sendirian.
Kembali Puntadewa menatap lampu balai taman itu. Tiangnya kurus dan menjulang. Dari sekian banyak lampu. Puntadewa menilik lampu yang rada redup. Ia seperti kawan tak bernyawa buat Puntadewa. Nyala benderang kalau diperlukan. Tapi hanya di sini, di ceruk sepi taman, Puntadewa memikirkan lakon seorang perempuan bersuara rendah. ketika dari arah pintu masuk muncul pengunjung baru. Ketika orang-orang menengok dan beranjak. Ada yang kembali duduk, ada yang terus berdiri. Puntadewa kembali mengingatnya. Berulang ulang.

Di atas meja di kamar kontrakannya Puntadewa menaruh gambar. Fokus gambar sebenarnya bukan padanya, tapi pada perempuan itu. Tubuhnya yang sedikit gempal menghamblurkan dua pepetan gunung kembar nan megah. Dia tersenyum, tapi kamera yang dulu disetel otomatis itu tidak jelas menangkap keindahan bukitnya. Dari arah timur sinar terlalu membanjir menutup potret wajah perempuan itu.
Puntadewa ingat, setelah berfoto, untuk menikmati matahari pun, tak sempat dia lakukan. Sekedar sepuluh menit bersama perempuan itu, bagi Puntadewa sepuluh tahun. Hingga matahari pun  pelan-pelan naik meninggalkan garis cakrawala. Langit di sekitarnya begot bersih dan laju waktu terlalu pelan untuk dihitung. Sore mulai datang. Lembah menanti sebelum malam. Dan kala itu mereka bergegas pulang. Gambar itu menceritakan semunya.

Suara deru kendaraan berlalu menembus malam. Balai taman itu kembali lengang. Hanya beberapa orang yang masih menunggu. Semuanya diam. Selain bunyi gerimis, segala macam suara jalanan di luar taman itu terus terdengar. Itu tandanya malam belum dipenghujung. Puntadewa masih menunggu.
Mata Puntadewa kembali mencari bulan. Tapi diurungkannya. Lampu balai taman yang seakan tidak pernah menyala terang itu kembali ditatapnya. Puntadewa  teringat pada sebuah pesan pendek yang masuk ke telepon genggamnya. Sudah cukup lama, beberapa pesan lupa untuk dibalasnya. Padahal untuk saat ini Puntadewa begitu menantikannya.

Di seberang taman terdapat juga sebuah taman kecil di dalam real esatate. Terbelah oleh jalan dengan kendaraan hilir mudik. Menjadi samar oleh kendaraan-kendaraan yang lewat, dan agak sulit melihatnya dari kejauhan kareena di katup oleh deratan cemara tinggi. Membuat taman itu tak tampak. Puntadewa merasa tempat itu baru dilihatnya. Mungkin karena lampu neon yang dipasang di sebelah jalan rumah sehingga tempat itu kini lebih terang. Berbeda dengan balai taman lainnya, hanya diterangi lampu jalanan dan sorot lampu rumah mewah. Ia seakan baru menyadarinya.

Balai taman kecil itu. Beberapa pasangan tampak mengobrol di taman seberang. Sesekali mereka tertawa berderai-derai. Puntadewa melihat mereka seperti menonton film bisu. Suara gerimis dan segala macam bunyi jalanan adalah musik pengiringnya. Salah satu di antaranya kemuPuntadewa berdiri agak menjauh. Ia mengangkat tangannya, tampak hendak mengambil gambar dengan kamera telepon genggamnya. Resam wajahnya menimbang-nimbang ringan dan mulutnya memberi aba-aba. Pasangan berkumpul saling merapat dan memasang senyuman.

Puntadewa ikut tersenyum.

Pemandangan yang terhalang-halangi kendaraan lewat itu kemuPuntadewa hilang oleh badan mobil yang merapat. Sebentar Puntadewa bertanya di dalam hati, apakah mereka sedang menunggu kedatangan jemputan yang akan membawa mereka pulang. Penasaran Puntadewa melihat jam tangan. Malam belum dipenghujung. Puntadewa masih menunggu.
Mobil  itu bergerak kembali melanjutkan jalannya. Seperti tirai yang bergeser pelan setelah sebentar menyembunyikan panggung tontonan pada sebuah pagelaran teater. Gerimis masih turun. Tak ada tanda turun hujan. Kemeja yang ia pakai seakan seperti mesin cuci. Basah olen gerimis, lalu kering di hempas angin.

Kendaraan-kendaraan terus lewat di depan Puntadewa, di antara kedua taman di pinggir jalan itu. Ada yang melaju pelan-pelan, ada pula yang melesat tergesa-gesa. Lampu-lampu jalanan tetap menyala dengan sinar kuningnya yang berpendar oleh gerimis. Sementara bangku-bangku di balai taman seberang jalan itu kini telah kosong. Dia melihat langit, awan semakin hitam. Hujan segera datang. Malam nyaris berpisah dengan bulan.

Orang-orang di sekitar Puntadewa beranjak dari duduknya. Berhambur seketika, ketika geledek sesekali bergelegar. Puntadewa tak sempat melindungi tubuhnya agar tak makin basah. Untuk beranjak dan melangkah pasti menuju pintu keluar taman, menyalakan mesin motor  pelan-pelan. Dibiarkan kepalanya menerima hujan. Puntadewa terhenyak di antara sunyi yang mengepung.

Sambil menbawa kendaraan, Puntadewa merasa untuk kesekian kalinya begini dan kalah. Sekujur perasaan dirundung kuyup musim hujan. Ini senja ketujuh di tahun ini Puntadewa kembali teronggok di kamar bau kamar tak terurus. Untuk esok siang, kenangan terus mengangkutnya dari rindu melulu.
Diatas kendaraan yang ia bawa, kepalnya merasakan hujan. Bulir-bulir yang diam dihampiri bulir-bulir yang bergerak. Ada yang cepat-cepat, ada yang pelan-pelan seperti ragu-ragu atau penuh perhitungan. Bulir-bulir yang bersatu kemuPuntadewa turun lebih cepat di permukaan wajahnya. Meninggalkan gurat-gurat basah sebagai jejaknya.

Puntadewa kembali mendongak mencari bulan,  yang kini dihiasi bulir-bulir air itu. Meski ia tahu tidak akan menemukannya. Kepalanya dipenuhi oleh dua orang yang berpayung itu, yang tadi, sebentar saja, masih dilihatnya dari atas kendaraan. Mereka ada di antara orang-orang yang tersenyum di dalam foto di atas meja di kamar kontrakannya itu.

Dikeluarkannya telepon genggam dari tas selempangnya. Puntadewa membuka pesan pendek yang sudah lama masuk itu. Dibacanya sebentar, kemuPuntadewa dihapusnya. Lelaki yang tadi memegang payung itu tidak perlu menerima balasan pesannya.

Puntadewa berpikir berjalan tertatih adalah baik, selalu saja dipikirnya seperti itu. Aah sudahlah. mengindahkan kekesalan cuma mendayu . Ibarat tali tambang yang menjerat erat kedua kaki agar tidak pindah. Dan tak berdaya walaupun sebenarnya sudah merasa teramat sangat jengah. Tapi Puntadewa tersenyum seulas, berniat memulai besok siang dengan hangatnya pagi.