Dari sekian ragam tanggapan yang muncul sesuai dengan ideologi pembangunan yang berbeda-beda. Pertama hal yang saya lakukan adalah menunaikan pembacaan runtuhnya teori pembangungan dan Globalisasi - Mansour Fakih. Dalam buku ini akan diperlihatkan konsistensi sikap dan pemikirannya yang sangat anti neoliberalisme. Dalam buku ini, juga lebih banyak menyorot kegagalan teori dominan sejak tahun 1970an, yakni 'teori pembangunan', dan turunannya saat ini yang dikenal dengan istilah populer sebagai 'globalisasi'. Buku ini sekaligus memperlihatkan sejarah perkembangan pemikiran dan teori pembangunan saling beririsan dengan ketimpangan keadilan kelas.
Namun, Dari berbagai ideologi pembangungan itu, saya lebih merujuk kepada kemandirian kolektif sebagai ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun ini lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan. Lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang tidak bertujuan pada penciptaan rejim pertumbuhan ekonomi, tidak berdasarkan pada alokasi otoritatif, atau tidak kepada tuntutan ekonomi meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, dan lain-lain. Melainkan, menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal, pranata sosial dan kebutuhan dasar mmanusia.
Dengan kata lain, pengendalian atas anggaran, stabilitas harga, sistem moneter dan segala tetekbengek yang bersinggungan dengan rejim pertumbuhan ekonomi, mengakibatkan warga secara tak langsung terilusi bahwa pemerintahan serta aparat kekuasaan disekitarnya telah menunaikan tugas yang transparan sekaligus akuntabel terhadap rakyatnya.
Hal ini penting sebagai edukasi dini bagi rakyat Jakarta. Rakyat dituntut segera membangun kekuatan politik independen ketimbang kekuatan ekonomi yang terhegemoni, menurut saya juga pembangunqn Jakarta tidak kalah bermasalahnya. Pemprov DKI mengatakan bahwa pengadaan barang haruslah transparan, namun ia tidak pernah mengatakan hal yang sama perihal pengadaan lahan untuk ruang hidup di Jakarta. Lahan di Jakarta masihlah menjadi penguasaan orang-orang berduit. Tidak heran jika masih banyak orang-orang miskin Jakarta yang memiliki hak hidup di kota tetapi harus mengalami kebijakan penggusuran. Jika memang pemerintahan yang hendak berlaku di Jakarta adalah pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap masyarakatnya (akuntabel), bukankah kebijakan seperti penggusuran atas nama pembangunan terhadap rakyat miskin, yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jakarta, dapat dihindari?
Diatas saya menyarankan agar masyarakat membangun kekuatan politik sendiri. Rakyat tidak bisa melulu hanya menyaksikan kebijakan demi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mereka tidak terlibat dalam perencanaan, pembuatan, dan pengawasan kebijakan. Rakyat selalu diminta untuk mendengar dan mentaati seluruh produk kebijakan, tak terkecuali kebijakan yang merugikan mereka. Ambil contoh penggusuran, santer terdengar bahwa kebijakan tersebut merupakan terobosan positif dikarenakan warga dipindahkan ketempat yang lebih layak, namun saya melihatnya bahwa media kecolongan dalam penggiringan opini publik, media tidak melihat bahwa sesungguhnya ada pranata sosial yang rusak atau sengaja di rusak oleh kebijakan tersebut.
Alasan ini kemudian tidak semata tidak beralasakan. Keberanian penulis menyimpulkan bahwa mayoritas kebijakan yang ada atau sudah terlaksana hanya berfokuskan kepada keberhasilqn ruang spasial saja. Padahal ruang spasial bukan salah satu langkah produktif yang kemudian melulu di jadikan kebijakan demokratis. Saya mengambil contoh kompas.com tertanggal 18 Februari yang memberitakan penggusuran oleh Pemprov DKI yaitu Ahok yang menegaskan hal Kalijodo bukan soal prostitusinya. Kalau Kalijodo adalah menyoal Ruang Tata Hijau. Dalam kasus ini pun dijelaskan bahwa saat ini ketersediaan RTH di Jakarta hanya 9,98 persen dari total luas wilayah. Hal ini merujuk kepada syarat PBB yang menyatakan bahwa sebuah kota minimal harus punya 30 persen RTH dari total luas wilayah. Contoh kasus ini kemudian menjadi contoh bahwa kebijakan hanya menyoal kepada ruang spasial saja, statistik peta, persyaratan administratif namun tidak melihat bahwa ada sejarah prananta sosial yang sudah terbangun sejak lama yang kemudian dirusak oleh kebijakan tersebut.
Inilah kemudian yang disebut Levebrvre sebagai konflik ruang. Bagaiman ruang produktif yang dibentuk oleh tindakan sosial (social action), baik secara individual maupun secara kolektif marak menjadi persoapan kebijakan. Padahal tindakan sosiallah yang memberi “makna” pada bagaimana suatu ruang spasial dikonsepsikan oleh mereka yang mengisi dan menghidupkan ruang tersebut. Produksi ruang sosial berkenaan dengan bagaimana praktik spasial diwujudkan melalui persepsi atas lingkungan (environment) yang dibangun melalui jaringan (networks) yang mengaitkan aktivitas-aktivitas sosial seperti pekerjaan, kehidupan pribadi (private life), dan waktu luang (leisure). Analisis inilah yang tidak semata harus di hilangkan dalam poin pengambilan keputuean kebijakan daerah.
Dan pengambilan kebijakan semestinya sebagai relapse yang bersifat dialektis antara ruang (spasial dan sosial) yang hidup, ruang yang dipersepsikan, dan ruang yang dikonsepsikan, atau apa yang disebut sebagai “tiga rangkaian konseptual atas ruang” (a conceptual triad of social space production) yang di sebutkan oleh Levebrvre,adalah pemahaman yang komprehensif tentang cara kerja tiga rangkaian konseptual atas produksi ruang sosial itu yang juga menjadi bagian penting dari reproduksi kebijakan yang bersifat ideologis bagi perkembangan suatu kota, khususnya karena hegemoni teori pembangungan tentang tata ruang kota semata-mata menjadikan kota sebagai objek komoditas kapitalisme belaka.
Inilah dampak bagaimana rakyat tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan publik. Sekali lagi rakyat harus terlibat dalam pembuatan kebijakan, saya menjamin bahwa kekuatan hukum pun telah menjamin keterlibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 pasal 5 huruf q, yaitu asas pembentukan peraturan dan perudang-undangan yang baik yang keterbukaan. Menurut Nurman dan Muluk (2010:11), asas keterbukaan dapat diartikan dalam pembentukan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat terbuka dan transparan. Dengan demikian rakyat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan perundang-undangan.
Mungkin terdapat argumen moral di sini. Namun harus dipahami bahwa apa yang terjadi serta ilusi yang mengiringi Ilusi kita terhadap Pemerintah adalah manifestasi dari pertarungan ekonomi-politik kekuatan yang ada. Selama publik belum membangun agenda politiknya sendiri, yang otonom dari kepentingan pemerintah maupun kepentingan kekuatan politik lama yang bercokol di Jakarta, maka dapat dipastikan ia akan selalu mudah terseret-seret dalam atraksi sirkus dukung-mendukung yang sudah terjadi selama ini.
Penulis bukan menulis tanpa dasar tanpa melihat realitas yang ada. Sekarang ini, dengan menganut sistem demokrasi, Kontrak (baca:pemilu) yang dilakukan oleh Masyarakat dan Negara (baca:pemimpin) ini, sangat tergantung oleh pemimpin yang dimandatkan menjadi pemimpin masyarakat, yang sudah pasti pola kepemimpinannya ini akan mempengaruhi hubungan Negara dan warga. Namun, control masyarakat juga berperan penting dalam hal ini. Contoh keberhasilan control masyarakat sudah terjadi di Negara dunia ketiga tepatnya Amerika Latin, ambil contoh adalah Kuba. Negara ini memakai demokrasi yang maknanya sebenarnya: kekuasaan rakyat. Pertama, metodenya adalah dengan terus berusaha mendekatkan proses pengambilan keputusan menyangkut hajat hidup di tangan rakyat. Selama ini demokrasi yang berlaku adalah demokrasi yang dikuasai dan dijalankan oleh elite, dimana rakyat hanya menjadi peserta penggembira setiap lima tahun sekali. Kedua, bahwa kebijakan kebijakan di Kuba berlangsung secara aktif, reguler, rahasia, partisipasi rakyat yang penuh dan nyata.
Tidak seperti di Indonesia, misalnya, dimana para kandidat diseleksi dan ditetapkan oleh partai, di Kuba, kandidat anggota dewan di seleksi dan ditetapkan oleh rakyat. Ketiga, di Kuba para anggota dewan bekerja secara sukarela, mereka tidak dibayar atas kerja-kerja mereka sebagai wakil rakyat. Mereka memperoleh pendapatan dari tempat mereka bekerja sehari-hari. Jadi jika semula seorang anggota dewan adalah pegawai bank, maka ketika menjadi anggota dewan ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai bank dan menerima gaji seperti biasanya. Hal ini menyebabkan posisi atau jabatan sebagai anggota dewan, bukan sebuah keistimewaan. Posisi itu adalah sebuah pengabdian, bukan karier politik.
Terlepas dari hal di atas, ragam hubungan antara Negara dan warga Negara, bisa bersifat demokratis maupun otoritarian. Sementara di Indonesia sendiri, hubungan antara Negara dan warga masih terlihat agak otoritarian. Karena kurangnya melibatkan warga masyarakat (rakyat) dalam hal-hal kenegaraan seperti menentukan kebijakan-kebijakan publik. Tidak melibatkan masyarakat dalam penentuan kebijakan inilah, yang lambat laun mengikis asas demokrasi di Negara kita.
Yoshua Abib Mula Sinurat
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed