Lalu Lalang, Lalu berakhir

0 Komentar
Disepertiga malam ini semuanya telah berakhir. Ntah kapan aku mengingat mulanya. Sampai-sampai aku sudi melawan dingin subuh dibulan November. Seperti berniat melompat dari jurang, lama di udara kemudian secepat kilat mati ketika mendarat. Pagi ini aku mengulangnya.

Tuhan terlalu mencintaiku, Dia membutakan mataku, hingga sepanjang aku masih mengingatnya, aku masih terpasung dalam kenang tempo silam. Mungkin karena Tuhan sangat menyayangi ku,  Dia tidak menginginkan telingaku mendengar suara-suara—yang kelak hanya akan membuat salah seorang perempuan terluka. Mungkin karena Tuhan berkehendak menitipkannya kepadaku, merawat masa-masanya dengan sebuah jalinan.  

Subuh ini, percakapan yang menjemukan. Padahal, waktu ku tidak banyak. Dan ia sedang tidak ingin di kunjungi.

Telepon genggam kukeluarkan dalam saku. Dan untuk ke sekian kali, aku mengirimnya pesan.  

“Cape?” !”

Suara dengan timbre kasar menghardik. Membuatku seperti terjengkang, membaca balasannya.

Sekelebat harapan. Aku meraih telepon, dan tak sabar mengirim pesan pendek  lagi. Tak bisa menunggu. Tidak seperti lampu merkuri yang sabar menerangi malam. Lalu aku segera menghampiriya saja.

Bahkan ketika malam berkhianat dengan bulan. Butuh sekitar 3 menit bagi bagiku untuk mencapai kamarnya. Lalu berhenti tepat di sebelah kaca jendela.

“Bangun…,bangun…,” bisikku dengan kaca jendela kamarnya, berharap  mendengarku lalu keluar.

“bisa keluar sebentar…,? Diluar dingin..,?” Bisikku lanjut, sembari jemari ini bertubi-tubi menngirimnya pesan.

 “Se… sebelum jam enam!” Meski tergeragap,kucobaberusaha meyakinkan agar ia keluar. 

Tak ada jawaban, padahal baru saja telah kukirim pesan dan masih ada tanggapan darinya.

Napasku yang halus mulai memburu. Tak ada sahutan, pergi adalah jalan untuk mengakhirinya. Ya, aku sering melakukan hal seperti ini. Sangat sering, sampai aku lupa berapa kali. Walau sudah berpisah, latahku masih saja menghampiri. Dan pagi ini aku mengulangnya lagi.

Semuanya telah berakhir di subuh bulan November. Ntah kebetulan atau Tuhan menakdirkannya seperti ini. Penghujung akhir tahun, November selalu persis tiap tahunnya. Aku masih ingat, tiga tahun silam, sudah tujuh kali aku mengumbar kekagumanku kepadanya. Selama itu pula aku belajar tentang kesabaran.

Jika aku berhak meibratkan dengan sebuah bayangan. Kala itu aku berambisi mendahului bayangku sendiri. Angka tiga bagi orang sudah cukup, bagiku mengungkapya butuh tujuh kali.  Ya, kekaguman harus sesering mungkin di ungkapkan. Berbeda, namun sama. Kali ini aku sedang mengumbar maafku lewat kaca jendela kamarnya.

Ibu bilang, rezeki, jodoh, dan ajal, sudah tercatat dalam catatan Tuhan. Tapi, aku selalu gagal memecahkan teka-teki Tuhan dalam garis peruntungan ibu. Jodoh?  

Kini ia selalu mempersetankan berepa kali aku mencoba. Setahun terakhir ini, jalan pikiran kami terbagi dua. Tak kunjung menemukan titik temu akhirnya perpisahan jalan terbaik. Andai dia mengingat angka tiga tempo itu, maka tak seperti ini akhirnya.

Butuh waktu lama akhirnya kami terikta dengan ikatan. Menjalinnya sama seperti meramal. Apa yang akan terjadi besok? Rasanya seperti merenungi anak sungai yang bermula pada bersit mata air, menyalurkan rembesan air dari celah bukit, menyusup di celah-celah bebatuan, dan membelah hutan. Menuruni lereng, terjun ke jurang, lalu hilang. Tiba-tiba sudah bermuara di laut yang jauh.

Tak terjangkau oleh perhitungan angka, juga waktu. Tak tergambarkan, tak tertangkap oleh insting-insting peradaban yang menghidupkan nalar. Begitulah aku meramal akhir di subuh bulan November.

Sosiologi Dramatutgis : Dunia ini panggung sandiwara. ( William Shakespeare )

0 Komentar

Sosiologi dramaturgi adalah kajian yang diangkat oleh Erving Goffman. Dalam karyanya tentang dramaturgi, ia banyak mengungkap tentang konsep diri dalam sosialisasi individu dalam lingkungan sosial masyarakat. Bagaimana seseorang bisa memainkan perannya dalam hubungan atau interaksi dengan orang lain yang dalam karyanya disebut sebagai audien atau dalam bahasa pertunjukkan disebut penonton. Seseorang dalam kehidupan sehari-hari selalu berperan dalam menjalani hari-harinya, namun terkadang kita tidak dapat melihatnya secara langsung ataupun merasakannya dan hanya orang lain yang dapat menilainya. Peran yang dilakukan oleh individu-individu layaknya seperti dalam pertunjukkan drama yang ditampilkan diatas pentas.

Diri dalam bahasan yang diangkat oleh Goffman ataupu Mead membahas mngenai ketegangan diri yang dibatasi oleh keadaan sosial. Diri adalah suatu hal yang ada dala setiap individu yang beraneka ragam dan mempunyai pengruh yang berbeda-beda dalam menjalankan aktivitasnya. Diri kita selalu terpengaruh oleh keadaan lingkungan dimana kita berada. Kita dapat menciptakan sebuah suasana baru saat kita sedang dalam keadaan sepi, ataupun kita dapat beralaku spontan pada saat kita sedang terdesak. Diri kita selalu memainkan perannya sesuai dengan naluri yang bekerja. Contohnya seperti pada saat kita sedang belajar dikelas. Pada saat guru menerangkan tiba-tiba ia menunjuk kita untuk mengulangnya. Kita tentu saja bingung untuk menjawabnya kalau kita tidak memperhatikan penjelasan tadi. Dari itu kita paling-paling hanya menggaruk-garuk kepala taupun geleng kepalayang berarti tanda kita tidak biasa. Keadaan seperti itu sebenarnya sudah masuk dalam kategori berperan. Kita sebenarnya adalah aktor walaupu kita tidak paham dengan keadaan seperti itu.

Aktor dalam menjalani peran setidaknya mampu untuk membius penonton agar penonton terkesima atau dapat memahami suasana dan karakter yang diperankannya. Dalam menjalankan perannya ini aktor harus bisa membawakan karakter yang diperankan sehingga audien dapat menerimanya dengan baik, kalau tidak penonton akan merasa jenuh atau bosan dengan pertunjukkan itu. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, kita harus bisa melakukan interaksi yang baik dengan orang lain sehingga keberadaan kita dapat diterima orang lain. Setidak-tidaknya kita selalu memerankan tokoh yang berwatak baik, agar orang lain pun selalu timbal balik kepada kita. Dimana intinya kita berbuat baik dan ingin kebaikan itu dibalas dengan kebaikan pula.

Kita sebagai mahluk sosial selalu mempunyai kekurangan dan juga kelebihan, yang dalam intinya kita harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan atau suasana dimana kita berada. Penyesuaian diri ini sangat berpengaruh terhadap diri seseorang. Jika seseorang tidak mampu untuk menyesuaikan diri maka ia tidak akan betah atau bosan dengan keadaan seperti itu. Mungkin ia akan merasa grogi, bingung, ataupun diam membisu. Demikian pula dalam pentas pertunjukkan, kita diwajibkan harus mampu untuk menyesuaikan diri agar kita tidak merasa terganggu konsentrasi kita. Sebab jika kita sudah kehilangan konsentrasi dalam pertunjukkan atau dalam kehidupan sehari-hari, kita akan bersikap tidak sesuai dengan keadaan kita disaat kondisi sedang normal atau yang lebih parah kita bisa melakukan hal-hal yang anarkis. Keadaan yang semacam ini yang dalam bahasa Goffman disebut dengan manajemen pengaruh.

Dalam menunjang memainkan peran agar menambah suasana yang lebih mendukung, kita selalu membutuhkan perlengkapan yang mampu untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kepada audien. Atau dalam bahasa lain disebut setting. Setting ini adalah alat pendukung yang digunakan oleh aktor agar ia kelihatan lebih jelas dalam berperan. Setting ini biasanya selalu terlihat atau mengacu pada pemandangan fisik. Hal ini jelas meupakan unsur yang cukup penting dalam sebuah pertunjukkan. Sebenarnya kalau dalam pertunjukkan teater setting dapat diganti dengan sebuah gerak atau gesture. Gerak disini juga mampu untuk mengubah setting walaupun setting adalah alat pendukung yang cukup penting. Seperti contoh kalau kita memainkan peran burung, kita tidak harus menempatkan burung dalam panggung (stage), kita juga bisa dengan menggantinya dengan gerak seperti dengan mengepak-ngepakan tangan. Keadaan seperti itupun juga dapat berlaku dalam kehidupan sehari-hari seperti contoh yang pertama diatas. Kalau kita tidak bisa megerjakan sesuatu kita cukup dengan menggeleng-gelengkan kepala yang berarti tidak bisa.

Goffman mencoba untuk lebih memfokuskan mengenai peran diri menghadapi dunia luar. Dalam hubungannya dengan masyarakat manusia selalu dihadapkan dengan berbagai persoalan yang membutuhkan “acting” agar mampu untuk menghadapinya. Begitupun saat kita melakukan pertunjukan diatas panggung, kita dihadapkan dengan peran yang akan kita mainkan. Kita harus bisa memberikan sesuatu yang lebih agar penonton atau audien dapat menerima pesan yang telah disampaikan oleh aktor. Di sini aktor juga harus mampu untuk dapat mempergunakan setting agar mampu untuk menambah pesan yang disampaikan.

Peran-peran yang dimainkan dalam pertunjukan diatas panggung memang tidak semua menggambarkan tentang realita yang sebenarnya, akan tetapi jika dirangkai dengan konsep yang bagus dan ditambah aksesoris setting yang memmadai dan mendukung maka poentas yang disuguhkan akan membawa kesan yang mendalam kepada penonton atau audien. Pengelolaan setting juga belum tentu mampu untuk menambah kesan, jika aktor tidak bisa memainkannya dengan baik. Seperti dalam kehidupan sehari-hari yang diwarnai dengan berbagai latar dimana kita berada. Terkadang kita dihadapkan pada tempat dan suasana yang kurang mendukung, tetapi jika kita mampu untuk mengontrol semua dan memahami semua dengan baik maka semua akan berjalan sesuai dengan rencana yang diinginkan. Optimalisasi keadaan adalah sesuatu yng sangat sulit, terkadang kita tidak mampu menguasai keadaan dan inilah yang dapat membawa bencana bagi kita.

Pengaruh keadaan seperti itulah yang diharapkan oleh aktor, dimana ia bisa membuat audien menjadi lebih akrab dalam sebuah pertunjukan walaupun dalam kehidupan nyata mereka belum tentu seperti itu. Kesan dan pesan yang diberikan kepada audien diharapkan mampu untuk membawa suasana kepada suasana yang lebih intim. Pengaruh aktor agar penonton menjadi seperti terlibat dalam acara pertunjukan adalah suatu hal yang sangat diharapkan dalam sebuah pertunjukan. Ekspresi-ekspresi yang diberikan itulah yang akan menambah motivasi aktor untuk terus berperan lebih menghayati. Di sisi lain sebenarnya aktor juga membatasi untuk tidak larut dalam ekspresi penonton, aktor justru membatasi dengan membangun jarak tersendiri dengan mereka. Tetapi jarak tersebut tidak terlihat nyata. 

Selain dipanggung depan, belakang panggung merupakan hal yang tidak bisa kita tinggalkan dalam sebuah pertunjukan. Kerja tim adalah hal yang sangat primer utuk mencapai kesempurnaan yang diinginkan. Kita dalam bermasyarakat pun demikian, kita selalu membutuhkan mereka dalam berinteraksi. Masyarakat adalah panggung dalam kita berperan. Layaknya seperti bermain drama, masyarakat adalah penonton dan lingkungan adalah stting dan kita berperilaku adalah kehidupan dibelakang panggung. Kemampuan-kemampuan kita dalam mempengruhi masyarakat dalam kehidupan membawa dampak tersendiri bagi kita. Kesan-kesan yang baik akan membuat kita menjadi diuntungkan karena itu kita harus cenderung untuk lebih mampu menghargai mereka sebagai lawan dalam berinteraksi.

Status peran yang dibawa oleh aktor sebenarnya juga menjadi catatan tersendiri dalam sebuah pertunjukan atau juga dalam kehidupan sehari-hari. Kita dalam menjalani kehidupan terkadang ada jurang pemisah yang membatasi perilaku kita terhadap orang lain. Seperti contoh ketika orang miskin dihadapkan dengan si kaya, tentu saja si miskin akan merasa malu atau yang lain terhadap keadaan yang seperti itu. Jurang pemisah yang seperti itu yang tidak diharapkan. Kita menginginkan kesamaan derajat, karena didunia semua orang mempunyai derajat yang sama tetapi hanya faktor-faktor tertentu yang membuat mereka menjadi lebih eksklusif dan lebih diuntungkan. 

Pandangan umum Presentation Of Self terhadap kehidupan manusia, apakah secara individual atau dalam kelompok, adalah untuk mengejar tujuan mereka masing-masing dan dengan sinis tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan orang lain… Di sini individu dipandang sebagai sekumpulan pertunjukan bertopeng yang menyembunyikan diri yang sinis dan manipulatif.
( Manning, 1992:44 )

Kehidupan adalah panggung sandiwara dan itu adalah sebuah realita kehidupan yang harus kita terima. Kita selalu mencoba untuk membuatnya lebih nyata dan lebih baik dari sekedar acara pertunjukan drama. Peragaan atas kegiatan-kegiatan sehari-hari kita buat layaknya dalam sebuah opera tentang si baik yang selalu diterima oleh semua orang atau mengenai orang yang selalu berbuart baik selalu mendapat balasan yang baik pula. Penempatan posisi menjadi orang yang baik inilah yang selalu membuat kita sulit untuk terus eksis dalam kehidupan berinteraksi. Bayangan-bayangan yang sifatnya membuat kita malu atau bayangan sekedar membuat kita lebih berharga menjadi hal yang sering kita lakukan . kebiasaan-kebiasaan yang sulit seperti ini yang sebenarnya harus kita hindari.

Daftar Pustaka
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam. Prenada Media. Jakarta.

Alkitab Elektronik Keluaran LAI (Lembaga Alkitab Indonesia)

0 Komentar


Ketika orang terpukul oleh perubahan, kebutuhan akan kepercayaan spiritual semakin hebat (john naisbitt)
Alkitab Elektronik keluaran LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) ini sangat populer dikalangan pecinta software Alkitab. Selain karena kemampuannya yang mumpuni, software ini juga memiliki fasilitas yang lengkap. Ia memiliki kemampuan pencarian kata dan ayat serta navigasi yang mudah. Software Alkitab Elektronik ini muncul seiring oleh perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi.  Kehadiran Alkitab Elektronik tentu menyumbangkan banyak nilai bagi umat untuk membaca dan merenungkan Alkitab secara mudah, praktis dan kaya tanpa batasan waktu dan tempat.  Seiringnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibenturkan dengan sistem agama sudah membentuk suatu nilai-nilai yang terlembaga dalam masyarakat.
Perangkat agama telah dimodernisasi, seperti kitab suci, tata ibadah dan lain sebagainya Dalam hal ini kita dapat melihat ilmu pengetahuan dan teknologi sudah masuk dalam sistem agama, seperti gadget Al-kitab Elektronik yang semakin sering digunakan oleh masyrakat. Biasanya dalam masyrakat kristen, membawa kitab suci sewaktu beribadah minggu merupakan hal yang biasa dilakukan jemaat. Menjadi identitas bagi jemaat, dengan membawa Kitab Suci sewaktu beribadah minggu adalah penanda bahwa seseorang itu bergama kristen yang hendak beribadah. Namun, Kitab suci yang memiliki simbol identitas agama kristen sudah diganti dengan teknologi yang canggih. Adanya Al-Kitab elektronik berbentuk gadget menarik sebagian besar masyrakat beragama untuk menggunakannya. Alasan logisnya, bahwa masyrakat membutuhkan sesuatu yang instan, efektif dan efesien. Dengan adanya gadget kitab suci seperti ini seakan memudahkan masyrakat untuk beribadah. Cara mendapatkan gadget yang sangat mudah, pemakaian yang simple dan tingkat gengsi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem agama hari ini. Melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat manusia khusunya umat yang beragama banyak yang dipermudah langkah-langkah kehidupannya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian memang searah dengan dengan perkembangan akal pikir manusia, tetapi juga tidak berbanding lurus dengan ajaran agama. Kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. Ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk dilihat kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin.

Analisis Kasus : Agama berhadapan dengan modernisasi (Alkitab Elektronik )
Agama dalam masyaraat modern sedang mengalami transformasi tetapi bukan menurun. Berbanding terbalik dengan Agama tradisional mungkin saja menyusut tetapi kesadaran keagamaan tetap kuat dan memanifestasikan diri dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual baru yang sesuai dengan bentuk-bentuk aliran kepercayaan yang dianut. Meskipun arti pentingnya dapat saja selanjutnya berkurang agama akan tetap sebagai ciri yang lestari dan permanen daripada sistem-sistem sosial budaya.
Seperti contoh kasus Alkitab Elektronik yang fenomenal penggunaannya. Penggunaan Alkitab Elektronik sudah dianut sebagai paradigma positivisme oleh sebagian besar masyrakat. Alkitab elektronik yang paling fenomenal adalah dalam bentuk aplikasi dalam handphone. Penggunaan aplikasi Alkitab ini tidak hanya terjadi di kota besar saja, tetapi sudah terjadi di kota-kota kecil di jemaat yang besar ataupun jemaat yang kecil. Dengan adanya aplikasi Alkitab di Hp ini, seseorang tidak perlu lagi membawa Alkitab cetak yang secara fisik memang lebih besar dan berat. Praktis, bisa disebut seperti itu. Apalagi, aplikasi alkitab ini mudah sekali didapat dan dengan harga yang lebih murah dari Alkitab cetak. Aplikasi Alkitab memungkinkan penggunanya untuk mencari ayat Alkitab hanya dengan memasukkan kata kunci. Untuk membuka ayat yang sudah menjadi tujuan pengguna juga sangat mudah. Cukup memasukkan nama kitab, pasal, dan ayat tanpa perlu mencari secara keseluruhan. Berbeda dengan Alkitab cetak yang memaksa penggunanya untuk mencari menggunakan penanda halaman (bagi yang ada). Apabila Alkitab cetak tersebut tidak memilki penanda halaman maka ayat tujuan harus dicari halaman demi halaman yang tentu saja menghabiskan waktu. Satu lagi kelebihan dari Alkitab elektronik adalah membuat penggunanya merasa lebih modern karena ini berhubungan dengan teknologi. Agama dipertanyakan eksistensinya  dan dianggap surut dan disfungsi terhadap kehidupan masyaraatnya di era modern ini. Kesiapan masyarakat belakangan ini terhadap agama kurang bersahabat. Masyrakat dewasa ini  manganggap agama sesuatu yang patut dimusuhi atau harus dicurigai, karena dipandang produk masa lalu yang membelenggu kebebasabn manusia dan kini digantikan oleh kebenaran positivisme  walaupun ada agama namun merupakan agama humanitas, agama yang disesuaikan dengan positivisme, ini dikemukakan oleh August Comte . Atau pandangan Friedrich Nietzsche dalam filosofi sekulernya “tuhan telah mati” atau Karl  Marx  bahwa agama hanya “candu/opium” masyarakat
Sebenarnya penggunaan Alkitab elektronik ini sah-sah saja jika sebatas penggunaan dalam konteks waktu san suasana yang tiba-tiba atau tergesa-gesa saja karena penggunaan Alkitab elektronik dala semua konteks waktu dan suasana sebenarnya menimbulkan dampak-dampak negative jugaNamun, jemaat akan dengan leluasa menggunakan HP dengan alasan membaca alkitab. Tidak ada jaminan bahwa jemaat itu tidak akan membuka feature lain, apalagi di hari minggu sering ada sms ucapan “ selamat hari Minggu” bagi orang Kristen. Hal ini tentu saja mengganggu jemaat lain dan merusak suasana ibadah. Penggunaan alkitab elektronik seperti ini lama-kelamaan akan menimbulkan perbedaan, bahkan jarak, dengan pengguna alkitab cetak dengan anggapan bahwa alkitab elektronik memiliki prestise lebih tinggi. Situasi ini memiliki potensi kesenjangan sosial yang sangat tinggi. Semakin maraknya penggunaan alkitab elektronik juga menjadi penanda bahwa gaya hidup serba cepat (instan) sudah semakin menguasai gaya hidup orang Indonesia. Agama sebagai ciri yang lestari dan permanen daripada sistem-sistem sosial budaya. Bagaimanapun berhasilnya ilmu pengetahuan dalam menjelasan dan mengendalikan dunia empiris, tapi ilmu tida berkuasa dalam berhadapan dengan suatu masalah non-empiris. Tiga dasawarsa terakhir, berakhirnya abad 20  terjadi perkembangan pemikiran baru yang mulai menyadari bahwa selama ini manusia salah menjalani kehidupannya. Di dunia ilmu pengetahuan, muncul berbagai pendangan yang menggugat paradigma positivisme.

Kesimpulan :
            Bahwa Alkitab elektronik merupakan produk hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang di dihadapkan dengan sistem agama. Masyarakat yang menggunakan produk perkembangan Iptek adalah adalah masyrakat yang telah menerima modernitas masuk ke sistem agama. Kemudian, agama juga dapat menjadi wadah oleh iptek untuk menjadi tempat komoditas dari perkembangan zaman. Seluruh perangkat agama dimanfaatkan oleh perkembangan Iptek untuk menjual hasil karyanya, yang kemudian ini dipasarkan dan dipakai oleh masyrakat. Ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa. Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk dilihat kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin.
Konsekuensi logis yang harus diterima sistem agama ialah kemajuan teknologi yang dapat merusak eksistensial dari agama itu sendiri. Keadaan sekarang berbeda dengan masa lampau. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Peradaban umat manusia berubah maju dan modern. Perang sudah terminimalisir dengan berdirinya organisasi perdamaian dunia.  Tingkat modernitas yang masuk kesetiap elemen masyrakat seakan menjadi input yang tak terelakkan. 

ANALISIS KASUS ALIRAN KEPERCAYAAN SAPTO DARMO DAN PARMALIM UNTUK PENERAPAN MODEL EKSTRA KOLOM “ALIRAN KEPERCAYAAN” DALAM KTP SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN AGAMA DI INDONESIA

0 Komentar



Mia Rachmawati, Fita Nofiana, Yoshua Abib Mula Sinurat
Jurusan Ilmu Politik dan Sosiologi Fakultas ISIP Universitas Jenderal Soedirman
Jalan H.R. Boenyamin  Grendeng Purwokerto

          RINGKASAN
   Selain tentang Sunda Wiwitan, Aboge, Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah aliran kepercayaan lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa. Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari salah satu aliran kepercayaan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP). Pengalaman ini pernah dialami aliran kepercayaan Sapto Darmo.
Banyak pertanyaan dari masyarakat seputar aliran kepercayaan dalam Kolom KTP (Kartu Tanda Penduduk).  Dalam bagian pertama ini akan dibahas kondisi saat ini tentang aliran Sapto Darmo, yang merupakan salah satu aliran besar kejawen.
          Polemik kolom agama dalam KTP belakangan ini sering menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Dalam kolom agamanya nyatanya hanya ada enam agama yang dapat dicantumkan. Kemudian, 245 penghayat tidak dapat menuliskan kepercayaan mereka dalam kolom aga di KTP. Padahal, tidak terisinya kolom agama akan berpengaruh terhadap pengurusan administrasi kenegaraan. Melalui permasalahan ini kemudian kami mengusulkan gagasan penambahan ekstra kolom dalam KTP, sebagai solusi untuk mengatasi permasalah tersebut.
          Pembahasan yang kami lakukan berdasarkan data dari wawancara dan obeservasi media massa. Metode yang kami gunakan untuk menganalisa kasus ini menggunakan tinjauan pustaka. Dalam undang-undang dicantumkan seluruh warga negara wajib menganut salah satu agama. Namun permasalahan muncul saat hanya agama yang boleh dicantumkan dalam kolom KTP. Padahal banyak penganut kepercayaan yang ingin dicantumkan dalam KTP. Akan lebih mudah jika pemerintah menambahkan kolom “Aliran Kepercayaan” dalam KTP. Hal itu di maksudkan agar para penganut aliran kepercayaan dapat mengakses pelayanan publik dan mengurus administrasi.
           



I.         PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang multietnis dengan kepercayaan yang berbeda-beda. Berdasarkan data dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), ada 245 organisasi aliran kepercayaan di negeri ini. Dan juga ICRP pada tahun 2005 menyebutkan, setidaknya ada 400.000 orang yang menjadi penganut aliran-aliran ini.
Banyaknya aliran kepercayaan justru menimbulkan masalah-masalah keagamaan. Beberapa kasus yang kami rilis dari media cetak dan elektronik. Banyak kasus menguak tentang perdebatan  antara negara dengan  penganut aliran kepercayaan. Pangkal masalahnya ada pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia.
Beberapa bulan lalu banyak media yang memberitakan konflik aliran kepercayaan terhadap Negara. Salah satu  berita terekam situs Indopos.com (12/12), yang menyatakan bahwa pencantuman agama di KTP hanya menyediakan 6 agama resmi saja.  Dampaknya penganut aliran kepercayaan menuntut agar kepercayaannya di cantumkan dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun pemerintah menganggap bahwa aliran kepercayaan bukan suatu agama yang diakui.
Ditambah lagi dengan keseselan para penganut aliran kepercayaan, yang terpaksa memakai salah satu dari  6 agama yang sudah di atur negara. Para penganut Aliran kepercayaan tentu saja tidak terdapat dalam pilihan agama tersebut. Karena tidak tercantumnya beberapa kepercayaan dalam kolom agama ini berpengaruh terhadap pelayanan administrasi seperti  akta nikah, akta kelahiran, bahkan pemakaman.
Sudah jelas pula bahwa ada ketegangan sosial antara para penganut aliran kepercayaan dengan negara, terkait UU Adminduk pasal 64  kedua belah pihak saling bertahan untuk mempertahankan kepercayaannya pada kolom KTP.  Pada UU Adminduk Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, tertulis setiap warga negara harus memilih satu di antara lima agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya.
Setidaknya beberapa agama 'asli' leluhur Nusantara yang penganutnya masih eksis dimana-mana. Seperti Sapto Darmo di Jawa Tengah, Parmalim di Sumatera Utara dan Aliran kepercayaan lain seperti Sunda Wiwitan di Jawa, Alu Tadalo di Toraja, Tolotang di Sulawesi Selatan, Marpu-Jinitiu dan Boti di NTT dan masih banyak lagi. Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini. Dampaknya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.
Berangkat dari hal ini penulis menangkap bahwa Negara dan rakyatnya masih menganggap aliran kepercayaan atau agama-agama leluhur Nusantara merupakan bagian dari agama yang sudah dilegitimasi negara. Namun para penganut memkanai secara berbeda. Dalam hal ini penulis mencoba menganalisis kasus aliran kepercayaan Sapto Darmo dan Parmalim guna mendapatkan ujung masalah, yang kemudian penulis mampu menggagas solusi atas permasalahan agama di Indonesia. Alasan kami dikarenakan aliran Sapto Darmo dan Parmalim merupakan aliran kepercayaan yang masih jarang tersentuh media. Kemudian kedua aliran ini merupakan kebudayaan leluhur penulis.

II.           GAGASAN
1.             Kondisi saat ini Sapto Darmo dan Parmalim
Bedasarkan hasil wawancara kami dengan salah satu Kepala Desa di Desa Jambean Kidul, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah. Sapto Darmo merupakan salah satu aliran besar kejawen. Pertama kali dicetuskan oleh Hardjosaputro dan selanjutnya dia ajarkan hingga meninggalnya, 16 Desember 1964. Nama Sapto Darmo diambil dari bahasa jawa. Sapto artinya tujuh dan Darmo artinya kewajiban suci. Jadi sapto darmo artinya tujuh kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak berkembang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, bahkan sampai luar Jawa. Aliran ini mempunyai pasukan dakwah yang dinamakan Corps Penyebar Sapto Darmo, yang dalam dakwahnya sering dipimpin oleh ketuanya sendiri (Sri Pawenang) yang bergalar Juru Bicara Tuntunan Agung.
Namun hingga saat ini ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang agama yang diakui hanya 6. Maka Sapto Darmo berubah menjadi Ormas, dalam pandangan negara, tetapi mereka menyebutnya aliran kepercayaan. Beberapa pernyataan yang kami rilis dari berbagai sumber media menyebutkan bahwa para penganut Sapto Darmo masih tidak sepakat ketika aliran kepercayaannya ini menjadi Ormas. Bahkan, dipaksa untuk memilih agama dalam kolom KTP. Biasanya para penganut aliran kepercayaan Sapto Darmo di anjurkan untuk  



memilih agama Islam atau tanda Strip dalam Kolom KTP Indonesia.
Seperti gambar yang kami scan dibawah ini :


Description: IMG.jpg

Gambar 1 : Contoh penganut aliran Sapto Darmo yang menggunakan tanda strip pada kolom agama KTP
Gambar 2 : Contoh penganut aliran Sapto Darmo yang menggunakan Agama Islam pada kolom agama KTP
Kedua contoh KTP diatas adalah contoh penganut Sapto Darmo yang terpaksa memakai tanda strip di kolom agamnya (gambar 1) dan dalam gambar kedua, penganut Sapto Darmo harus mencantumkan agama resmi pemerintah ke dalam KTP nya.
Sama halnya denga Aliran Kepercayaan Parmalim atau (Ugamo Malim). Aliran kepercayan ini memang tidak tercatat sebagai agama di Indonesia dan hanya diakui sebagai aliran kepercayaan di bawah naungan Departemen Agama Indonesia. Hingga kini, kepercayaan yang dianut Sisingamaraja ini tetap terjaga di Tanah Batak, tepatnya di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Bahkan, penganutnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia dan mencapai lebih dari 1.500 orang.
Seperti hasil Obeservasi kami yang kemudian kami rilis dari media elketronik. http://bataknews.wordpress.com/2007/03/26/parmalim/. Warga Parmalim di seluruh Indonesia umumnya kesulitan mendapatkan KTP dan akte perkawinan. Naipospos adalah gelar pimpinan aliran kepercaayaan mencontohkan seorang pria pengikut Parmalim di Propinsi Papua yang bekerja di PT Freeport.
Kala itu dia menikah secara Parmalim di Laguboti dan diberi surat bukti perkawinan oleh pengurus Parmalim. Tapi surat perkawinan ini tidak diakui pihak Kantor Catatan Sipil (Capil) di sana, sehingga akte perkawinan pun tidak terbit. Capil lalu meminta yang bersangkutan mengurus surat dari pengadilan negeri (PN) bahwa perkawinan mereka sah. Surat dari PN ternyata diberikan, tapi tetap juga Capil tidak membuat akte tersebut. Dan juga kami menambakan bahwa aliran kepercayaan parmalim biasanya memlih agama protestan dan ada beberpa yang mengosongkannya dalam kolom agama di KTP.
Dua aliran kepercayaan diatas yang berhasil kami tangkap dari hasil wawancara dan obeservasi menjelaskan bahwa perjuangan demi kebhinekaan tampaknya sudah menjadi pokok yang seharusnya diselesaiakan negara. Dari banyaknya kasus aliran kepercayaan yang sudah terkikis. Menurut kami inipun berimplikasi kepada praktik diskriminasi.
Dimana di Indonesia sendiri masih ada agama-agama 'asli' leluhur Nusantara yang penganutnya masih eksis dimana-mana. Sapto Darmo, Parmalim dan Aliran kepercayaan lain seperti Sunda Wiwitan di Jawa, Alu Tadalo di Toraja, Tolotang di Sulawesi Selatan, Marpu-Jinitiu dan Boti di NTT dan masih banyak lagi. Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini. Dampaknya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.
2.             Solusi Pemerintah Sebelumnya
Sebenaranya DPR sudah pernah menawarkan solusi pada permasalahan Aliran kepercayaan yang sulit menemui titik temu. Pihak pemerintah pernah menawarkan solusi dengan mencantumkan agama resmi dalam kolom KTP para penganut kepercayaan.Menurut anggota komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P), Arif Wibowo, menyatakan dalam Indopos.com (12/12), bahwa pencantuman agama dalam KTP hanya menyediakan agama resmi. Sedangkan keyakinan di luar agama resmi tidak diakomodasi atau tidak ada tempatnya. Sehingga pilihan lainya adala mengosongkan kolom agama, mencantumkan tanda strip, menulis kata ‘lain-lain’ atau terpaksa memilih mencantumkan agama resmi negara dalam kolom agama KTP.
Description: C:\Users\Yoyo Sinurat\Downloads\578263_2835332492993_100351977_n.jpg
Namun banyak para penganut kepercayaan menolak usulan tersebut, hal itu dianggap sebagai bentuk terhadap kepercayaan yang dianut. Para penganut kepercayaan meyakini bahwa permasalahan yang muncul saat ini bukanlah agama apa yang dicantumkan dalam kolom KTP. Namun lebih dari itu, warga negara berhak memilih agama manapun yang diyakininya. Apa yang dialami oleh penganut Sapto Darmo dan Parmalim, dan juga yang dialami oleh banyak penganut kepercayaan lainnya. Yang pada akhirnya terjadi deskriminasi antara warga negara penganut kepercayaan. 
Kami menganalisa bahwa permasalahan Aliran keperyaan ini berakar pada UU Adminduk. Dimana dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) hanya enam agama yang boleh dicantumkan yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. UU Adminduk yang saat ini masih berpotensi mengikis kebhinekaan seperti yang tercantum dalam pancasila sendiri. Contoh yang paling ironis yang dilakukan negara adalah dalam amandemen UU Adminduk No 23 Tahun 2006 yang kini menjadi UU No 24 Tahun 2014.
3.             Seberapa jauh kondisi kekinian gagasan dapat diperbaiki melalui gagasan yang diajukan
Berkaitan dengan pengesahan Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dalam UU ini yang cukup krusial adalah diperboehkanya mengosongkan kolom agama dalam KTP. Keputusan ini masih menimbulkan sejumlah perlawanan dari berbagau penghayat suatu kepercayaan, sehingga dalam gagasan tertulis ini kami memgusulkan, adanya penambahkan satu kolom dibawah kolom agama berupa kolom kepercayaan atau aliran. Menurut kami, penambahan kolom aliran atau kepercayaan ini dapat menjadi solusi baru ketika pemerintah masih membedakan antara agama resmi dan agama tidak resmi, atau masih menganggap kepercayaan atau aliran-aliran lokal bukanlah suatu agama melainkan sebagai kepercayaan atau peninggalan leluhur.
Sebelumnya, beberapa pihak telah mengusulkan untuk dihapuskanya kolom agama. Namun, usulan ini malah menimbulkan berbagai komentar negatif dari berbagai ormas dan lembaga pemerintahan. Pemerintah menolak usulan tersebut karena beralasan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler jadi, kolom agama masih dianggap penting. Dengan begitu kami menguslkan agar pemerintah menambahkan kolom kepercayaan atau aliran di bawah kolom agama di KTP, dengan pertimbangan seperti pernyataan litbang MUI bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler. Penambahan kolom ini juga berkaitan dengan semboyan bangsa “bhineka tunggal ika” yang menyatakan penghargaan atas perbedaan.
Penambahan kolom aliran dalam KTP tentu saja membutuhkan legitimasi dari negara, karena ini kami juga mengusulkan perubahan undang-undang nomor 23 tahun 2006. Perubahan tersebut berisikan tentang penambahan satu kolom yaitu kolom aliran dalam KTP. Usulan kami mengenai penambahan kolom seperti gambar yang berada di bawah ini:


Description: D:\A.png
Add caption

Gambar 3 : Model Ekstra kolom “Aliran Kepercayaan” pada kolom agama di KTP

4.             Pihak-pihak yang dipertimbangkan dapat membantu membantu mengimplementasikan gagasan dan uraian peran masing-masing.
Pihak-pihak yang dapat dipertimbangkan untuk membantu terwujudnya gagasan kami antara lain:
-          Lembaga swadaya masyarakat, untuk membantu kami dalam pelaksanaan dan pengaujuan gagasan kepada departemen kependudukan dan menteri agama
-          Lembaga bantuan hukum, untuk membantu legalisasi gagasan melalui bantuan hukum.
-          DPR-RI, lembaga terakhir yang dapat mengesahkan kebijakan yang kami usulkan.
-          Dinas Kependudukan, yang berwenang untuk mengakomodasi pembuatan KTP.








 












Gambar 4 : Langkah strategis agar tujuan tercapai melalui gagasan yang diajukan



III.        KESIMPULAN
Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi kebutuhan yang cukup penting bagi warga negara manapun, baik untuk pelayanan publik atau sekadar untuk administrasi kependudukan. Namun, beberapa waktu ini kolom agama di KTP malah menimbulkan polemik baru. Hal ini disebabkan hanya agama resmi yang dapat mengisi kolom agamanya, sementara bagi para penghayat hanya bisa mengosongkan atau mengisi dengan agama resmi pemerintah.
Keberadaan kolom agama tersebut kemudian memunculkan beberbagai anggapan mulai dari anggapan diskriminasi pemerintah, hingga kritik terhadap ketidakjelasan pemerintah atas tafsirnya terhadap agama. Jadi, adanya kolom agama sempat diusulkan agar dihapus dalam KTP. Namun, melalui pernyataan Litbang MUI yang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler, menolak untuk dihapusnya kolom agama. Sedangkan, masyarakat penghayat menginginkan sebuah pengakuan.
Oleh karena itu, kami mengusulkan penambahan kolom ekstra berupa kolom kepercayaan dalam KTP, kami prediksikan dapat membantu masyarakat penghayat untuk lebih memudahkan dalam bidang administrasi. Lebih dari itu, perubahan KTP dengan model seperti ini dapat menjadi solusi baru dalam menangani diskriminasi antara kepercayaan dan agama resmi negara.



DAFTAR PUSTAKA

Balandier, Georges. 1967. Political Anthropology. Paris: Presses Universitaises de
France.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka utama.
Budiono, Kusumohamidjojo. 2009. Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi
Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.